Google

Kamis, 04 Desember 2008

MENYEMANGATI DIRI SENDIRI (3)

Masih seputar menyemangati diri sendiri.

Jika sebelumnya kita perlu belajar dari orang-orang yang "lebih" dari kita - entah itu lebih berhasil, lebih berpengalaman, lebih cerdik, lebih berani dsb - untuk menyemangati kita, ternyata orang-orang yang "kurang" dari kita pun bisa menjadi penyemangat yang tak kalah hebatnya. Bahkan melalui mereka lah kita jadi sadar, bahwa penderitaan yang kita alami saat ini belum apa-apa. Belum melampaui kekuatan kita.














Dari mereka yang hidup berkekurangan, kita belajar bagaimana tetap survive dalam keterbatasan. Dan inilah hidup yang sejati menurut saya, karena hidup dalam keterbatasan memaksa kita menetapkan prioritas, mana yang merupakan kebutuhan dan mana yang lebih bersifat keinginan. Kadangkala uang yang berlebih, materi yang berlebih, membutakan mata kita untuk melihat batas-batas kebutuhan kita secara apa adanya. Tapi begitu keterbatasan dana, keterbatasan fasilitas, keterbatasan kesempatan menghimpit kita, kita baru berpikir, mana yang lebih urgent, mana yang perlu didahulukan. Kita jadi lebih aktif memilah, mengesampingkan keperluan-keperluan yang kurang efektif dan efisien, kita jadi lebih terampil dan taktis menggeser idaman-idaman dan lebih memilih hidup berpijak pada kenyataan.

Orang yang biasa hidup berkekurangan tahu apa artinya perjuangan tak kenal lelah. Belum lagi kebutuhan hari ini terpenuhi, mereka sudah harus siap menghadapi esok hari yang masih penuh tanda tanya. Padahal kita semua sama-sama punya keterbatasan fisik, keterbatasan waktu. Waktu 24 jam diberikan sama kepada orang yang kaya maupun yang miskin. Tapi tetap saja ada yang mengeluh kurang waktu sebaliknya ada yang kebingungan bagaimana menghabiskan waktu. Dari mereka yang hidup bersahaja, kita belajar bahwa kebutuhan yang sederhana membuat kita lebih kaya akan waktu. Bukannya menghabiskan waktu berjam-jam memelototi televisi, atau berjalan-jalan di mal membelanjakan sebagian besar dana kita untuk barang-barang yang tak sepenuhnya kita butuhkan.













Orang yang hidup bersahaja, berjuang di garis batas hidup dan mati. Dan ini perlu kita homati, karena memerlukan keberanian yang tinggi untuk bisa hidup seperti itu. Anda dan saya, belum tentu berani tinggal dan hidup di pinggir kali. Makan sekali sehari atau tidak sama sekali. Mengais sampah, mengumpulkan pulungan untuk mendapat nafkah duapuluh ribu sehari. Belum lagi jika musibah mendera. Apakah itu yang alami seperti banjir, atau yang non alami seperti penggusuran oleh petugas tramtib. Belum lagi anak-anak yang seolah hidup tanpa masa depan. Tak ada perlindungan rasa aman, atau mendapat pengobatan dan pendidikan yang layak.

Jadi, dengan kata lain, kita belum layak mengeluh dengan penderitaan yang menimpa dan mengecilkan hati kita saat ini. Keterbatasan, kekecewaan, halangan, cobaan, ujian atau apapun lah namanya untuk menggambarkan penderitaan kita, belum seberapa jika dibandingkan apa yang tengah dialami sebagian besar saudara-saudara kita. Dari pengalaman mereka lah kita belajar untuk terus berjuang, terus tegar, berbesar hati, bersyukur atas apapun yang sempat kita alami, karena semua itu membantu kita membentuk karakter berani, ulet, pantang menyerah dan percaya diri.

Semoga kita semua menjadi pribadi yang semakin berkualitas tinggi.

Salam,

Tidak ada komentar: