Google

Rabu, 26 Maret 2008

Christian Indonesian Blogger Festival 2008 (CIBfest 2008) !

Pagi ini saya dapat kejutan. Ada kiriman e-mail dari panitia Christian Indonesian Blogger Festival (CIBfest) 2008 yang mengundang saya untuk turut meramaikan Festival Blogger Kristiani tersebut. Entah dari mana panitia bisa memperoleh identitas saya, yang jelas saya langsung memutuskan untuk bergabung, karena saya rasa ide ini unik dan menarik sehingga patut didukung.

Sebetulnya blog saya ini bisa dikatakan tidak terlalu kristiani, meski saya memang penganut agama Kristen. Blog ini lebih bersifat perjalanan spiritual, yang berarti lepas dari embel-embel agama apapun. Bagi saya, hubungan dengan Tuhan sangat personal, tidak bisa dikotak-kotakkan dalam label agama. Pengalaman saya bersama Tuhan selama ini tak lepas dari pengalaman bersama agama-agama dan kepercayaan yang lain. Kedekatan saya dengan Tuhan bahkan seringkali dijembatani oleh orang-orang yang menganut keyakinan berbeda. Dan bagi saya, hal itu justru membuat kehidupan beragama saya menjadi lebih indah dan berwarna. Kekristenan saya tumbuh dan berkembang bersama dengan saudara-saudara tak seiman. Aneh, tapi nyata.

Meski demikian, sudah lama ada kerinduan saya untuk menelurkan 1 blog lagi khusus renungan kristiani, yang sayangnya hingga kini belum sempat tertangani dengan serius. Adanya CIBFest jadi mendorong saya untuk segera mewujudkan ide tersebut lebih cepat lagi. Terimakasih ya, panitia CIBFest, Anda menjadi wakil Tuhan untuk mengingatkan saya tentang hal ini, hehehe...

Akhir kata, selamat berfestival... semoga semua kegiatan ini memuliakan Tuhan jua adanya....

Salam sejahtera,

Selasa, 11 Maret 2008

Malas = Masalah

Seorang sahabat terbujur di rumah sakit sejak seminggu belakangan ini. Ia terserang stroke. Sebelah tubuhnya sulit digerakkan. Dan sebagai penunjang tubuhnya untuk sementara waktu, ia harus menggunakan kursi roda.

Untungnya sahabat saya ini masih bisa menyemangati diri sendiri. Setahu saya pasien penderita stroke biasanya memiliki emosi yang kurang stabil, dan perasaannya bisa menjadi sangat sensitif. Mereka seringkali merasa masygul pada diri sendiri dan butuh waktu cukup lama untuk bisa menerima keadaannya yang tak berdaya dan harus bergantung pada orang lain. Sangat menyedihkan.

Hampir sebulan yang lalu, tante saya yang juga pernah terserang stroke akhirnya meninggal dunia setelah lebih dari 3 tahun menjalani masa-masa sulit pasca stroke. Mama yang selama ini merawatnya, juga mengalami masa-masa sulit dan nyaris angkat tangan, karena besarnya beban fisik dan mental yang harus ditanggungnya. Stroke memang bukan hanya membuat si penderita tersiksa, tapi juga orang-orang di sekitarnya yang merawat dan menemani mereka. Penderitaan berkepanjangan, itulah yang seringkali membuat penderita putus asa, kehilangan harga diri dan harapan. Merasa hidup tak ada guna lagi.

Saya rajin menelpon dan mengirimkan sms pada sahabat saya ini untuk membesarkan hatinya. Saya membelikannya An Kung, obat Cina yang sangat bagus untuk pemulihan kondisi penderita stroke. Saya juga berniat menemaninya terapi akupunktur sepulang dia dari rumah sakit nanti. Selain itu ada program meditasi Sen Qi yang mungkin akan dijalaninya juga selain physioterapi di rumah.

Memang ada kecerobohan yang dilakukan sahabat saya ini sebelum dia terserang stroke. Pola makan dan kebiasaan hidupnya tak sehat, merokok dan jadwal tidur tak teratur serta malas berolahraga, membuat fisiknya rentan terhadap stroke. Belakangan, ketika ia juga terjun dalam penerbitan majalah yang menjadikannya sering stress akibat dikejar deadline, makin lengkaplah persyaratan untuk stroke bisa menyerangnya.

Meski demikian saya tak ingin mundur lagi ke belakang, mengungkit-ungkit kesalahannya. Setiap manusia mempunyai shadow-nya sendiri. Pada diri sahabat saya, mungkin ketidakdisplinan hidup sehat yang menjadi shadow-nya. Tahu yang benar, tapi tak mau menjalani. Tahu yang seharusnya, tapi malas melakukan. Apa yang dialaminya adalah akumulasi dari penundaan-penundaan akibat kemalasannya.

Saya pun demikian juga. Dalam 2 bulan terakhir ini saya harus 4 kali bolak-balik ke rumah sakit karena IUD yang salah pasang 8 tahun yang lalu. Keengganan saya untuk kontrol selama ini membuat saya harus menanggung akibatnya. Proses penanganan akhirnya menjadi lebih mahal dan lebih sulit daripada semestinya.

Ketakutan dan kemalasan melahirkan penundaan-penundaan. Penundaan menyebabkan masalah terus mengejar, bahkan dengan efek bola salju, menggelinding makin tebal dan makin besar. Ketika dalam diri mulai tumbuh rasa enggan dalam menghadapi sesuatu, ingatlah bahwa jika tak segera dituntaskan, kelak akan timbul dampak yang lebih merugikan. Karena itu, janganlah menunda. Segera selesaikan masalah sedini mungkin agar tak menjadi batu sandungan pada waktu yang tak diharapkan.

Sahabatku, semoga engkau lekas pulih. Terimakasih untuk pembelajaran yang sangat berharga ini. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari semua pengalaman ini.

Salam,

God Loves Story

Hidup adalah serangkaian cerita. Sejarah panjang peradaban manusia ditorehkan dalam berbagai kisah yang menawan. Mulai dari kisah-kisah heroik yang menimbulkan inspirasi hingga yang saking sepelenya nyaris tak mampu diingat lagi.

Setiap manusia mempunyai kisah hidupnya sendiri. Pendek kata, bukan hanya kisah para pahlawan dan tokoh dunia saja yang perlu diabadikan dalam biografi, namun setiap kita mempunyai peluang yang sama untuk mengukirkan kisah kita di prasasti kehidupan ini.

Karena hidup itu bergerak, penuh dinamika, maka ia bisa menjadi cerita. Bayangkan hidup yang sepenuhnya statis dan itu-itu saja, betapa amat membosankan.

Namun perubahan dan dinamika selain menimbulkan gairah dan antusiasme juga menuntut pengorbanan dan penderitaan. Keseimbangan di antara keduanya itulah tujuan kita, dan memaknai keduanya itulah keindahannya.

Banyak orang berontak saat menderita. Mereka tidak siap, dan tidak mau menghadapinya. Jika boleh memilih, inginnya menghindari saja yang namanya penderitaan itu. Di sisi lain, para bijaksana justru seolah mencari penderitaan. Mereka menyepi di gunung dan hutan, menjauh dari keramaian. Mereka menghindari makanan enak dan memabukkan. Mereka sanggup menahan diri dari kantuk dan letih untuk terus melantunkan doa-doa di gelap malam. Semua ini menunjukkan betapa penderitaan bisa menjadi lawan tapi bisa juga menjadi teman. Bisa dijauhi tapi bisa pula dicari. Intinya, bukan penderitaan itu yang menjadi sebab maupun akibat. Tapi bagaimana kita memainkannya. Bagaimana kita menjadikannya sebagai sebuah cerita.

Pertanyaan klise yang nyaris abadi, apakah Tuhan benar-benar ada? Dan jika Ia ada mengapakah masih juga ada penderitaan? Mengapa Tuhan mengizinkan terjadinya penyakit, peperangan, bencana alam di mana-mana yang menelan banyak korban?

Saya bukan Tuhan dan tidak dalam kapasitas menjawab pertanyaan tersebut. Saya hanya seorang pengamat yang mencoba menelisik ke balik layar, di mana sang Dalang sedang memainkan tokoh-tokoh wayang di tanganNya. Sang Dalang, penyuka cerita, dan yang mampu membuat tontonan menjadi menarik, sekalipun harus berakhir tragis dan dramatis.

Hidup kita adalah sebuah cerita. Kita-lah pemainnya. Saat-saat yang paling indah dalam sebuah cerita adalah puncak klimaksnya. Di situlah biasanya menjadi puncak pertemuan manusia dengan Tuhan. Yaitu ketika kita mempertanyakan, kita menggumulkan, kita bergelut, kita menangis dan meratap hingga akhirnya menemukan titik kesepakatan denganNya.

Kita dan Tuhan ada dalam cerita. Kita dan Tuhan menentukan jalan cerita. Kita dan Tuhan bekerjasama menyelesaikan cerita. Tugas kita adalah memainkan peran kita sebaik mungkin selama berada di panggung kehidupan ini.