Google

Jumat, 17 Oktober 2008

Menjadi "LASKAR KREATIF"

Istilah ”Laskar Kreatif” diangkat oleh Ninok Leksono dalam tulisannya di Kompas tanggal 15 Oktober 2008 yang lalu, mencermati fenomena film Laskar Pelangi yang dikatakannya sebagai meneguhkan kebangkitan industri kreatif di tanah air.

Apa itu Industri Kreatif?

Kira-kira begini definisinya:

“Industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property”.

Rasanya kita harus berterimakasih kepada Ibu Mari Elka Pangestu (Menteri Perdagangan RI saat ini) yang telah mengangkat isu mengenai industri kreatif ini ke permukaan, bukan semata-mata karena berkaitan dengan tugas beliau, tetapi menurut saya hal ini merupakan satu bentuk upaya penggalian identitas bangsa.

Mengenal identitas bangsa – sebagaimana kita secara individu perlu mengenal diri sendiri – adalah satu pijakan penting sebelum memasuki arena yang lebih besar dan global yakni komunitas internasional. Generasi sekarang punya istilah “siapa lo?”,yang mengindikasikan bahwa identitas diri penting untuk menjelaskan keberadaan kita di tengah dunia. Kita harus mampu menjelaskan siapa diri kita, apa kelebihan kita, apa keunikan kita, apa sumbangsih yang bisa kita berikan bagi dunia.

Isu Ekonomi dan Industri Kreatif setidaknya telah membantu kita mengenali dan kemudian bangga menjadi anak bangsa ini. Jangan selalu berharap menjadi orang lain, menginginkan rumput tetangga yang lebih hijau. Kita sendiri pun punya intan dan permata yang tak kalah berkilau seandainya kita tahu bagaimana mengelola dan mengembangkannya, yaitu keragaman budaya yang tinggi dan manusianya yang secara alamiah kreatif, yang sekali lagi menurut bu Menteri merupakan potensi dan daya saing kita. Dan saya seratus persen setuju. Itulah sebabnya mengapa para founding fathers kita dulu telah merampatkannya dalam satu istilah yang sangat pas: Bhinneka Tunggal Ika. Tak dapat dipungkiri lagi, memang itulah kekayaan kita sebagai bangsa sekaligus ciri dan identitas kita di dalam komunitas global.

Nah, masalahnya sekarang adalah bagaimana mengembangkan potensi dan identitas ini agar semakin bersinar di mata dunia? Setidaknya ada 14 bidang industri yang bisa kita tekuni dan eksplorasi bersama untuk meningkatkan nilai jual kita di abad 21 ini, yaitu:
  1. Arsitektur,
  2. Desain,
  3. Kerajinan,
  4. Layanan Komputer dan Peranti Lunak,
  5. Mode,
  6. Musik,
  7. Pasar Seni dan Barang Antik,
  8. Penerbitan dan Percetakan,
  9. Periklanan,
  10. Permainan Interaktif,
  11. Riset dan Pengembangan,
  12. Seni Pertunjukan,
  13. Televisi dan Radio,
  14. Video, Film dan Fotografi.
Wow, menarik dan dahsyat sekali bukan?
Dan bagusnya lagi, kita tidak perlu susah-susah membentuk dan mengubah diri sendiri agar bisa berkontribusi dalam bidang-bidang tersebut. Maksud saya, bukannya dalam hal ini kita tidak perlu bekerja keras, melainkan bahwa secara alami potensi itu sudah mendarah daging pada diri anak bangsa ini.
Salah satu contohnya adalah, sudah bukan rahasia lagi bahwa rata-rata manusia Indonesia gemar menyanyi dan menikmati musik. Setiap acara musik selalu ramai dibanjiri peminat. Mereka bahkan hafal luar kepala syair-syair lagu ciptaan lokal. Bisa dibilang mereka punya bakat dan kecerdasan musikal yang tinggi. Dengan demikian, apabila kita hendak mengeksploitasi potensi musikal ini rasanya akan jauh lebih mudah dibanding untuk bidang-bidang yang secara alami memang kurang kita kuasai.

Contoh lainnya adalah sebagaimana yang sering ditampilkan di media televisi akhir-akhir ini. Para pendekar pengubah sampah menjadi emas. Kemasan-kemasan plastik dari sabun cuci, pewangi pakaian dsb, yang semula hanya menjadi timbunan sampah tak terhancurkan mampu mereka sulap menjadi tas-tas plastik yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Bahkan kertas koran bekas dalam bentuk aslinya, juga dapat dibuat menjadi tas kertas jinjing.

Bangsa kita boleh dibilang kaya akan seniman. Yang saya sebut di atas tadi, belum termasuk mereka-mereka yang secara genetis kultural memang telah mewarisi bakat sebagai seniman dari orangtua dan leluhurnya. Para pemahat, pelukis, penari, pemain alat musik tradisional, dsb begitu mudah dijumpai di Indonesia. Sayang jika generasi muda kita tidak mau melanjutkan warisan tradisi ini dan lebih suka membanggakan apa-apa yang berbau luar negeri.

Itu sebabnya, himbauan saya sama dengan himbauan Ninok. Mari kita sama-sama berjuang sebagai Laskar Kreatif bangsa di abad ini. Jangan kita dikenal dunia dari hal-hal yang negatif saja, tetapi ayo buktikan bahwa kita juga bisa memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi dunia. Syaratnya hanya satu: Jadilah individu-individu yang berjiwa bebas, karena tanpa jiwa yang bebas, mustahil kreativitas dapat lahir dan berkembang dengan luar biasa. Hanya orang yang berjiwa bebas yang dapat mengekspresikan dirinya (Sardono W. Kusuma). Banyak orang yang terkendala berjiwa bebas karena hanya mengejar pendapatan semata, dan itu akan membuat kreativitas kita terkekang dan terbatas. Mari berjuang mengalahkan motivasi-motivasi sempit dan membelenggu seperti ini.

Hidup Industri Kreatif!

















Keterangan gambar:

Salah satu karya anak bangsa yang termasuk dalam Industri Kreatif :
Memanfaatkan kain batik sisa menjadi karya seni kerajinan Patchwork.

(dari Pameran Kerajinan Inacraft di JHCC Senayan, April 2008 yang lalu)

Selasa, 14 Oktober 2008

MERASA CUKUP

Ada satu petikan ayat favorit saya yang bunyinya demikian:

Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."(Mat 6:34)

Dan satu lagi yang merupakan bagian dari Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus:

Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya (Mat 6:11)

Kata "cukup" di sini tentulah bukan sekedar tempelan pemanis atau bunga-bunga kata semata. Jika direnungkan lebih dalam dan lebih cermat, maknanya sungguh dahsyat. Karena di dalam kata "cukup" itulah terletak kebahagiaan sejati, yang dicari manusia sepanjang segala abad.
Setiap manusia yang sudah menemukan rasa cukup, ia sudah bahagia dengan kecukupannya. Tak perlu mencari-cari ke seluruh penjuru dunia, demi menemukan apa yang dianggapnya akan memberinya kebahagiaan. Harta terbesar yang kita miliki adalah ketika kita merasa cukup di dalam diri, karena itu tak akan pernah dicuri oleh siapapun.

Liburan Idul Fitri yang lalu, saya dan keluarga yang kebetulan tidak mudik, menyempatkan diri berekreasi ke sebuah lokasi pemancingan, tak jauh dari rumah. Saya - yang cenderung serakah :-) - sejak awal memang sudah berangan-angan bisa membawa ikan sebanyak-banyaknya ke rumah. Mana adik saya yang enggan ikutan sudah pesan ingin "matangnya" saja. Semakin terpaculah semangat untuk berjuang memperoleh yang terbaik...., hehehe... :)
Ternyata, semangat tinggallah semangat. Akibat terlalu berharap biasanya memang berakhir sebaliknya (wah, pembelaan diri nih). Suami dan anak saya yang iseng-iseng berhadiah malah dapat 3 ikan, sementara saya gigit jari dan bolak-balik kebagian tugas mengurai tali pancing yang melilit. Sebetulnya ada 2 kali kesempatan lagi bisa memperoleh ikan yang sudah kena umpan kami, tapi kemudian lepas. Lagi-lagi hanya saya yang berteriak, yaaahhh.... sayang.

Belakangan baru saya tahu maksud Tuhan. 3 ikan yang kami tangkap itu sudah lebih dari cukup untuk disantap kami berempat. Bahkan karena lumayan besar (3 ikan hampir 2 kilogram beratnya), akhirnya tak habis dimakan dalam sehari, dan harus diinapkan semalam sebelum disapu bersih adik saya keesokkan harinya. Bayangkan, kalau saja jadi 5 ekor yang kami tangkap, mau habis dalam berapa hari tuh ikan dimakan? Saya jadi belajar, makanya jangan rakus, jangan serakah. Semua sudah di atur, tinggal berserah.

Bangsa Israel di padang gurun juga pernah diajar hal yang sama. Ketika Tuhan memerintahkan untuk mengambil roti manna cukup untuk kebutuhan hari itu saja. Jangan menyimpan cadangan, karena esok harinya Tuhan pasti akan berikan yang baru. Tapi ada di antara mereka yang kuatir jika Tuhan tak menepati janji, terlalu kuatir jika-jika mereka terlantar dan kelaparan, dan yang lebih parah lagi, sebenarnya mereka tak mempercayai Tuhan yang Maha Peduli dan Maha Pemelihara. Jadilah mereka menyimpan dengan diam-diam manna yang turun pada hari itu untuk kebutuhan esok harinya. Dan mereka menjadi sangat terkejut manakala esok harinya manna tersebut telah menjadi ulat (belatung).

Saya jadi introspeksi diri. Benar juga, betapa sering saya terlalu memikirkan hari esok padahal hari ini Tuhan sudah cukupi saya dan keluarga untuk bisa tetap hidup. Definisi "CUKUP" antara saya dan Tuhan ternyata berbeda. Jangan-jangan itu sebabnya kita jarang sukses untuk mengucap syukur, karena kita baru ingin bersyukur setelah merasa cukup.

Apa batasan CUKUP buat kita? Apakah kita sudah merasa cukup jika kita masih bisa makan dan minum sewajarnya pada hari ini? Atau sebaliknya, sementara kita sedang makan (menikmati berkat Tuhan pada hari ini) pikiran kita melayang-layang tentang tabungan pendidikan untuk anak, asuransi jiwa dan kesehatan kita di masa pensiun nanti, cadangan dana tak terduga yang terus menerus ingin kita tambahi?

Sementara kita masih bisa berteduh di dalam rumah (bisa rumah sendiri, bisa yang masih ngontrak seperti saya, hehehe...) yang nyaman, kita sibuk memikirkan jauh ke depan tentang investasi apa yang perlu untuk mengamankan dan menyamankan diri lebih lagi. Kita lupa, nun jauh di sana banyak saudara-saudara kita yang tak punya tempat tinggal lagi untuk berteduh dan sekedar membaringkan diri karena digusur dan diusir pergi secara tak manusiawi.

Bagaimana rasa cukup kita bisa dibandingkan dengan Ibu Theresa yang memutuskan hanya punya 2 buah baju. Satu untuk dikenakan, satu lagi dicuci? Seperti apa sebenarnya definisi "cukup" yang kita kehendaki?

Kembali kepada ayat pembuka di atas, Yesus jelas-jelas mengajarkan kepada kita untuk membatasi diri sesuai kapasitas yang mampu kita tanggung pada hari ini. Apa yang mampu kita makan hari ini, cukuplah itu. Apa yang mampu kita kerjakan hari ini, cukuplah itu. Bahkan jika kita marah pada seseorang hari ini, cukupkanlah itu hanya sampai matahari terbenam, artinya, jangan diteruskan sampai esok hari, karena hari esok mempunyai masalahnya sendiri.

Mari kita coba pelajari lagi, selidiki lagi, sampai batas apa rasa cukup kita itu. Dan berbahagialah ketika telah mencapainya. Karena tanpa kendali itu, kita tak pernah tahu, kapan kita akan benar-benar berbahagia.

Salam,

Senin, 13 Oktober 2008

IRAMA PADANG GURUN

Salah satu episode yang paling menarik dari buku Sang Alkemis-nya Paulo Coelho adalah detik-detik yang mendebarkan ketika Santiago - tokoh sentral dalam novel sastra ini - memutuskan untuk menapaki padang gurun agar dapat tiba di Piramida Mesir, tempat harta dalam mimpinya berada. Menarik, karena para penjelajah gurun adalah orang-orang yang mau tak mau harus siap mati, siap tak bisa kembali lagi ke daerahnya semula. Sekali menginjakkan kaki di padang gurun tak ada jalan untuk undur dan memanjakan keragu-raguan.

Padang gurun adalah sebuah arena untuk melatih keteguhan hati. Bahwa kita semua punya mimpi, itu pasti. Tapi orang-orang yang berhasil, adalah mereka yang berani menindaklanjuti mimpi-mimpinya dengan sebuah TINDAKAN. Dan setelah bertindak, pantang untuk menoleh kembali ke belakang.

Peristiwa eksodus bangsa Israel dari tanah Mesir adalah salah satu peristiwa "padang gurun" juga. Tuhan memang menyediakan padang gurun untuk menempa yang dikasihiNya agar beranjak dewasa. Tidak cuma bisa mimpi. Tapi berani mewujudkan mimpi. Jika di pewayangan ada kawah Candradimuka sebagai media pengujian, padang gurun memiliki fungsi yang kurang lebih sama. Di padang gurun, kita tak lagi punya kemewahan untuk memilih. Terus maju atau mati! Itu tantangannya. Kita tak bisa berdebat tentang suka atau tidak suka. Mau atau tidak mau. Dan nasib kita berjalan sesuai irama padang gurun tersebut. Maksudnya jika kita mampu menyesuaikan diri, kita selamat. Jika tidak ya mati. Itu saja.

Saya pernah membaca sebuah cerpen Ayu Utami di Harian Kompas. Di situ dituliskan bahwa sejak seseorang memutuskan naik pesawat, sejak itu pulalah nyawanya diserahkan kepada sebuah kotak yang disebut black box. Ya, penumpang pesawat mirip dengan penjelajah padang gurun. Ia harus terus di sana sampai tiba di tempat yang dituju. Akan mendarat dengan selamat atau tidaknya, itu benar-benar misteri.

Kadangkala dalam hidup ini kita pun diperhadapkan pada misteri "padang gurun". Kembali ke belakang tak lagi memungkinkan, tapi berjalan terus maju pun terasa amat menggentarkan. Kita tahu tak mungkin kembali menjadi anak-anak yang banyak dibantu, dimanja dan dipermudah jalannya. Tapi menapaki kedewasaan pun kita merasa belum siap dan enggan. Dulu semasa kecil kita berangan-angan segera menjadi dewasa. Setelah dewasa, kita baru tahu bahwa pencapaian itu tidak mudah. Semua butuh perjuangan.

Kondisi yang saya alami saat ini juga tidak jauh dari efek padang gurun. Penuh misteri, mendebarkan dan menegangkan. Saya baru bisa merasakan apa yang dirasakan bangsa Israel sewaktu keluar dari tanah Mesir yang penuh kemapanan, diganti dengan kebergantungan total pada Tuhan yang tak kelihatan. Ada kalanya saya tergoda untuk bereaksi seperti mereka. Ingin kembali ke kehidupan yang lama, tak tahan dengan penundaan yang sebentar saja. Tak tahan berada dalam ketidakpastian. Kadang mengeluh, kadang bersungut-sungut, mengomel, penuh ketidakpercayaan pada Tuhan.

Kadang saya berpikir, alangkah panjang sabarnya Tuhan kita itu. Beribu-ribu tahun sudah Ia menghadapi manusia yang sama jenisnya seperti saya ini. Tidak tahu berterimakasih dan berjiwa kerdil (tak mau tumbuh dewasa dan berkembang, karena berkembang itu sakit). Tapi Tuhan memiliki mata yang tak kita miliki. Ia yang tahu persis bagaimana kita seharusnya menjadi. Untuk itulah manusia-manusia manja semacam saya ini diberiNya pelatihan. Agar kita berkembang sebagaimana mestinya.

Salah satu rahasia sukses menempuh padang gurun adalah mengikuti iramanya. Jangan melawan arah angin. Jangan menolak apa yang harus terjadi. Hadapi saja. Terima saja, apapun yang baik dan buruk yang terjadi pada kita. Karena hanya melalui kedua cara itu sajalah kita bisa tiba di seberang dengan selamat.

Siapa berani mencoba?

Sabtu, 04 Oktober 2008

MENGUBAH SAMPAH MENJADI EMAS

  • Sampah dapur (jumlahnya 30-40% dari sampah yang dihasilkan masyarakat) dipisahkan antara yang belum dimasak dan yang sudah dimasak.
  • Sampah dapur dari makanan yang telah dimasak kemudian dimasak ulang sebanyak dua kali dengan temperatur tinggi, lalu dijadikan makanan babi.
  • Sampah dapur dari makanan yang belum dimasak, termasuk tulang, akan dihancurkan dan dicampur dengan bubuk kayu lalu difermentasi. Setelah 9-10 hari makanan ini akan menjadi pupuk organik yang sangat baik untuk pertanian.
  • Sampah plastik akan diubah menjadi bahan isian untuk bantal, boneka, kasur dan mantel.
  • Gabus dan plastik tebal dijadikan rak baju, pot bunga dan material bangunan.
  • Botol kaca dan beling dihancurkan menjadi bahan untuk batu bata, aspal, kursi dan meja.
  • Kertas bekas akan diolah menjadi kertas baru. 1 ton kertas bekas bisa menghasilkan 800 kilogram kertas baru. Bandingkan jika membuat kertas baru dari batang pohon diperlukan 20 batang pohon berusia 20-40 tahun.
  • Barang-barang elektronik bekas, sepeda bekas dan furniture rusak dikumpulkan di satu tempat dan diperbaiki oleh tukang-tukang yang sangat terampil. Setelah dicat ulang kemudian dijual lagi dengan harga yang sangat murah. Cara ini sangat membantu bagi masyarakat kalangan bawah untuk mendapatkan barang yang baik dengan harga terjangkau.
  • Sementara itu debu dan endapan pembakaran dari insinerator dapat digunakan sebagai penutup galian infrastruktur kota dan urukan lahan pembangunan. Bahkan saat ini Pemerintah Kota Taipei sedang meneliti kemungkinan bahan-bahan sisa tersebut dapat diolah menjadi semen.

    Nah semoga gerakan Pemerintah Kota Taipei ini dapat ditiru oleh masyarakat bangsa kita, sehingga kerusakan alam yang lebih parah dapat dicegah.

Sumber: Kompas, 3 Oktober 2008

SAVE OUR EARTH

Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. (Matius 9:36)

Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit. (Matius 14:14)

Kata “tergeraklah hati” disebutkan sebanyak 11 kali di Alkitab Perjanjian Baru, yang kemudian selalu diiringi dengan kejadian atau peristiwa yang luar biasa. Apakah itu kesembuhan, atau pun pengampunan dan pemulihan, dan juga mujizat-mujizat.

Kapan dan mengapa biasanya hati kita tergerak? Apakah itu karena belas kasihan, atau karena terinspirasi oleh sesuatu hal, atau karena baru tersadarkan dari yang sebelumnya kita abaikan?

Ada dua hal yang belakangan membuat saya merasa tergerak untuk mulai lebih peduli terhadap bumi kita.

Yang pertama, mengenai issue Global Warming. Acara Kick Andy di Metro TV, Jumat 3 Oktober 2008 kemarin menayangkan tentang bagaimana saudara-saudara kita di Flores yang menderita kekeringan luar biasa sejak 10 tahun yang lalu. Padi yang ditanam selalu gagal karena ketiadaan sumber daya air. Sementara saudara-saudara kita di wilayah lain justru mengalami banjir besar yang menenggelamkan sawah, ladang dan pemukiman mereka. Semua ini bisa terjadi sebagai efek Global Warming. Dijelaskan pula bagaimana bongkahan es di kedua kutub bumi sejak beberapa tahun belakangan telah mulai berguguran dan mencair, sehingga banyak wilayah di negara-negara tertentu mulai tenggelam oleh naiknya permukaan air laut. Sungguh ngeri jika kita tak segera waspada dan mengusahakan pengendalian terhadap penyebab Global Warming ini sejak sekarang.

Yang kedua, masih seputar Global Warming, namun lebih fokus ke persoalan SAMPAH. Harian Kompas, Jumat 3 Oktober 2008 mengangkat isu sampah yang bisa diubah menjadi emas sebagaimana sukses dilakukan oleh Pemerintah Kota Taipei. Sebagaimana kita ketahui, sampah ada berbagai jenis. Ada yang bisa hancur (organik), ada yang tidak bisa hancur (anorganik). Jenis sampah yang kedua inilah yang memiliki potensi merusak bumi jika tak segera dialihfungsikan. Pembakaran sampah, selain menimbulkan pencemaran udara, juga menambah resiko global warming. Untuk itulah Pemerintah Kota Taipei kemudian memikirkan solusi untuk menanganinya dengan tepat agar bermanfaat. Selengkapnya baca di postingan saya berikut.

Memang sulit untuk hati kita tergerak, jika kita tak pernah belajar menempatkan diri di posisi mereka yang menderita dan mengalami secara langsung.
Bagaimana kita bisa berbela rasa pada mereka yang kelaparan jika kita sendiri tak pernah kelaparan?
Bagaimana kita bisa merasakan derita mereka yang tak punya rumah karena digusur, kebakaran atau bencana alam jika kita selalu tidur dengan lelap dalam lindungan rumah yang nyaman dan hangat?
Bagaimana kita bisa merasakan kedinginan akibat banjir jika tak pernah kebanjiran?
Bagaimana kita bisa merasakan hausnya tenggorokan, lengketnya badan oleh keringat dan debu akibat kekeringan dan ketiadaan air?

Sungguh berbela rasa itu tidak mudah, karena dibutuhkan kepekaan hati untuk merasakan sentuhan jemariNya. Kepekaan hanya bisa datang dari hati yang tenang dan bening. Hati yang hening bukan yang riuh oleh semarak duniawi. Hati yang peka adalah hati yang senantiasa terbuka untuk mendengarkan suaraNya dan menanggapi panggilanNya sebagaimana dituliskan tentang nabi Yesaya

Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8)

Jumat, 03 Oktober 2008

Film "LASKAR PELANGI"

Libur lebaran kali ini saya sempatkan untuk nonton film Laskar Pelangi bersama keluarga. Film yang diangkat dari novel laris karya Andrea Hirata ini mengisahkan tentang perjuangan sepuluh anak Belitong untuk tetap bersekolah di tengah berbagai aral dan hambatan yang menghadang seperti kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan.

Ada rasa haru dan getir yang menyeruak ketika menyaksikan tokoh Lintang, anak pesisir yang cerdas, harus mengayuh sepedanya puluhan kilometer setiap harinya hanya untuk belajar di sebuah gedung sekolah yang renta dan nyaris ambruk, atapnya bocor di sana-sini sehingga seringkali harus berteduh bersama kambing ketika hujan datang menerpa. Sayang Lintang yang menjadi penyelamat sekolahnya dalam acara Cerdas Cermat SD di kotanya, ternyata tak dapat menyelamatkan dirinya sendiri untuk tetap bersekolah karena harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebagai pencari nafkah keluarga. Perpisahan Lintang dengan Ibu Muslimah dan kawan-kawannya di sekolah adalah salah satu adegan dramatis yang mau tak mau membuat saya menitikkan air mata. Sungguh amat mengiris hati membayangkan betapa masa depan seorang anak manusia yang begitu cerdas secara alami, harus pupus dalam sekejap karena masalah ekonomi.

Sayang, mengingat begitu banyak hal lainnya yang ingin diangkat dalam film ini, penyajiannya terkesan terpotong-potong. Bagi yang belum membaca bukunya mungkin akan sedikit bingung dan kurang dapat menangkap apa yang ingin disampaikan lewat bahasa gambar. Tetapi bagi Laskar Pelangi mania, tentu saja adegan demi adegan sangat ditunggu-tunggu karena mereka ingin melihat visualisasi dari apa yang pernah mereka baca.

Banyak komentar dan resensi telah ditulis mengenai film ini, tentu saja dengan kelebihan dan kekurangannya. Jujur saja, saya sendiri juga sedikit kecewa dengan film yang tak seindah bukunya. Meski demikian, saya tetap sangat menghargai akting para pemainnya yang telah berusaha dengan maksimal memberi roh pada film ini sehingga layak ditonton. Demikian juga gambar-gambar yang ditampilkan tentang alam Belitong yang indah, sangat artistik dan romantis. Setidaknya mengajarkan kepada bangsa ini untuk menghargai satu sudut wilayah negara kita yang selama ini kurang diperhatikan.

Bagaimanapun, saya acungi jempol bagi semua seniman pendukungnya untuk sebuah karya sastra dan film yang luar biasa inspiratif ini. Semestinya anak bangsa kita, generasi abad ini belajar memaknai setiap kesempatan yang datang, karena tidak banyak orang yang beruntung untuk bisa mendapatkan dan menikmatinya. Bravo Laskar Pelangi!