Google

Kamis, 25 Desember 2008

HADIAH NATAL YANG TERINDAH

Beberapa hari menjelang Natal tahun ini, hati saya tergerak untuk memberi sesuatu kepada orang-orang terkasih yang selama ini hanya bisa saya repoti. Heran juga saya. Tahun-tahun lalu sewaktu masih ngantor dengan gaji berlimpah, tak kepikiran untuk memberi ini dan itu kepada mereka. Tapi justru tahun ini, ketika kami sedang seret secara ekonomi, kok malah hati tergerak untuk berbagi. Itulah misteri ilahi.

Tadinya saya pikir mau memberi buku-buku renungan rohani kepada tiap keluarga kerabat yang kami kunjungi nanti. Tapi sampai hari H-nya, belum sempat juga membelinya ke toko buku. Akhirnya saya tahu, bahwa rencana Tuhan bukan itu. Yang baik belum tentu benar. Tuhan sedang mengajar saya, memberi dalam kesederhanaan. Memberi dalam keterbatasan. Memberi dari apa yang kita punyai, bukan memaksa diri dari apa yang tak kita punyai.

Ternyata yang lebih indah dari semua hadiah Natal yang saya rencanakan adalah HATI saya. NIAT BAIK saya. Kepedulian saya. Perhatian saya. Kesediaan memberi saya. Kesediaan mendengarkan saya. Kesediaan melayani saya. Kesediaan rekonsiliasi saya. Kerendahan hati saya. Tuhan tidak ingin saya memberi buku, melainkan memberi maaf kepada orang-orang yang selama ini belum ingin saya maafkan. Itu adalah hadiah Natal terindah bagi mereka dan juga bagi saya. Kelegaan di hati mereka dan terangkatnya beban di hati saya. Tuhan sudah merancangkan itu semua jauh sebelum saya merancangkan apa-apa sebagai kado Natal bagi mereka.

Tuhan menggerakkan hati saya untuk memberi sekalipun hanya hal-hal kecil. Memberi senyum dan salam Natal kepada anggota keluarga yang sering saya sakiti hatinya adalah permulaan yang baik di pagi ini. Bersyukur bahwa pagi ini bisa ibadah Natal di gereja bersama-sama mama, suami dan anak yang saya cintai adalah keindahan berikutnya. Kemudian membantu mama menjamu tamu yang datang, melayani mereka dengan hati yang ringan dan tawa gembira. O, sungguh menyenangkan. Ada yang berbeda pada diri saya. Saya merasakan lahir dan tumbuhnya manusia baru di dalam diri saya. Manusia baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Ini juga adalah hadiah yang terindah dalam Natal tahun ini.

Setelah itu saya mulai membalas sms yang masuk sejak semalam. Meskipun tahun ini jumlahnya jauh lebih sedikit dari tahun-tahun sebelumnya, saya tidak kecil hati. Itu artinya, saya yang harus mulai mengirimkan, bukan hanya mau menerima. Saya melihat daftar nama-nama orang yang ingin saya kirimi ucapan selamat. Ada beberapa di antaranya yang selama ini saya hindari, karena pernah ada konflik di antara kami. Meski mulanya berat dan ingin sekali lagi menghindar untuk tidak menyalami, akhirnya saya putuskan untuk melakukan rekonsiliasi. Beberapa lainnya yang sudah lama tidak saling sapa, atau yang jarang saya sapa, kini saya coba memulainya. Dan Tuhan menjawab niat baik saya. Mereka pun membalas dengan sama antusiasnya. Saya jadi gembira bukan kepalang. Natal telah membantu saya menciptakan momentum rekonsiliasi. Alangkah jauh lebih ringannya hati ini sekarang.

Hal-hal sederhana lainnya yang saya coba berikan adalah memberikan waktu dan perhatian untuk menyapa dan mendengarkan. Saya menelepon para orangtua, memberikan waktu untuk mendengarkan mereka (tidak seperti biasanya, hanya menelepon jika butuh bantuan saja). Dan dengan cara ini ternyata lebih mengena dibandingkan jika saya datang hanya untuk menyodorkan buku. Karena kebutuhan para orang tua ini adalah perhatian, waktu dan telinga kita, juga hati kita untuk mereka. Mereka kedengaran begitu gembira mendengar sapaan saya, membuat saya belajar bahwa uang dan materi bukanlah segala-galanya, juga bukan hadiah yang lebih baik daripada diri kita sendiri.

Dan malam ini, selagi nulis postingan ini, sahabat yang sudah 12 tahun tak jumpa, tiba-tiba menelepon. Pasangan suami istri ini keduanya adalah sahabat saya. Kami ngobrol hampir 1 jam lamanya melepas kangen. Nah, ini adalah bentuk lain dari kado Natal yang saya terima hari ini.

Pendek kata, ternyata hadiah atau kado tidak selalu harus berbentuk barang. Hadiah yang terindah adalah kebahagiaan karena kita memberi, dan akibatnya kita jadi diberi (menerima). Luarbiasa sekali makna Natal yang saya peroleh hari ini. Kita memberi karena kita sudah terlebih dahulu diberi. Berilah maka kamu akan diberi.

Semoga damai Natal senantiasa menyertai kita semua.

Selamat Hari Natal. Tuhan memberkati.

Sukacita yang sejati diperoleh bukan ketika keinginan-keinginan kita terpenuhi, melainkan ketika kita bersedia melaksanakan panggilan Tuhan apapun resikonya. (Pdt. Linna Gunawan, 25-12-2008)

Rabu, 24 Desember 2008

RENUNGAN NATAL 2008








Entah kenapa beberapa tahun belakangan ini saya merasa sulit merayakan Natal seperti sebelum- sebelumnya, yang identik dengan semarak pesta, kerlap-kerlip lampu di pohon Natal, makanan dan kue-kue yang berlimpah, ucapan selamat yang mengalir melalui email dan sms, dan bentuk-bentuk perayaan Natal "fisik" lainnya.

Saya merasa ada yang kosong di dalam. Terutama ketika di negeri ini Natal mulai sering dirayakan berbarengan dengan berbagai bencana alam. Sulit bagi saya untuk menyanyikan lagu-lagu Natal dengan gembira, sementara saya tahu di belahan dunia yang lain sedang prihatin akibat tertimpa musibah.

Apa sebenarnya Natal dan kenapa jadi identik dengan perayaan penuh gempita seperti ini?

Yang saya ketahui, pesan Natal bagi saya pribadi ada 2, yaitu:
1. JANGAN TAKUT! dan
2. TELAH DATANG BAGIMU SEORANG JURUSELAMAT.

Jangan takut! adalah pesan Natal yang paling menggugah bagi saya, bukan hanya karena pada dasarnya saya penakut, tapi pesan ini benar-benar disampaikan Tuhan kepada setiap manusia yang mau mendengarNya. Apa pun yang sedang kita alami, apakah itu musibah bencana alam, sakit penyakit, keretakan keluarga, kegagalan bisnis, kegagalan pendidikan, kehilangan harapan, dsb, dsb.... pesan Tuhan bagi kita hanya satu JANGAN TAKUT. Dengan kata lain: BERANILAH! Karena apa? Karena kita tidak sendiri lagi. Itu pesan yang kedua. Karena TELAH LAHIR BAGIMU SEORANG JURUSELAMAT.

Juruselamat tak lain dan tak bukan adalah Tuhan sendiri yang telah berjanji tak akan meninggalkan kita. Itu adalah janji Tuhan yang sungguh menguatkan. Tuhan berjanji akan senantiasa hadir di dalam kita, di antara kita, menyertai kita, apapun yang terjadi. Dan itu lebih dari cukup untuk memompa keberanian kita dalam mengarungi arus kehidupan ini.

Dan setelah itu apa?

Setelah kita mengetahui dan mempercayai janji-janjiNya tersebut, lantas apa?
Kita tak boleh berdiam diri dan berhenti hanya sampai di sini saja, karena pesan Natal tersebut harus disampaikan. Disampaikan kepada siapa? Kepada yang membutuhkannya. Yaitu orang-orang yang merasa kosong di dalam seperti saya, orang-orang yang sedang cemas, kuatir, depresi, patah semangat, takut menghadapi hidup ini, kehilangan harapan, kehilangan makna hidup, dsb. Itu sebabnya saya merasa kurang "pas", jika Natal hanya dirayakan sebagaimana saya sebutkan di atas tadi. Natal semestinya kita hadirkan sebagai penyemangat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, terutama mereka yang lebih menderita dari kita.

Saya ingat bahwa Yesus yang kita rayakan pun tak lahir di tengah kemegahan dan gemerlap cahaya. Ia lahir dalam suasana prihatin dan ketegangan. Namun justru di situlah Ia membawa cahaya bagi orang-orang di sekitarnya.

Apakah kita yang merayakan Natal saat ini juga telah membawa cahaya bagi orang-orang di sekitar kita? Apakah kita juga turut berbela rasa dengan mereka yang menderita, yang saat ini berada di pengungsian akibat longsor dan kebanjiran? kehilangan rumah dan harta benda karena kebakaran dan penggusuran? kehilangan sanak saudara dan anggota tubuh karena peperangan dan penganiayaan? Sudahkah kita menyampaikan kabar baik tentang JANGAN TAKUT karena TELAH LAHIR BAGIMU JURUSELAMAT kepada mereka?

Natal adalah kelahiran Tuhan dalam hidup kita. Jika Ia telah lahir di dalam kita, bagaimana mungkin kita tidak menunjukkan tanda-tanda kehadiranNya dalam hidup kita? Setidaknya, biarkanlah sesama kita melihat dan merasakan bahwa Tuhan ada, melalui sikap dan teladan hidup kita.

SELAMAT NATAL 2008. TUHAN MEMBERKATI KITA SEMUA.

Salam,

Senin, 22 Desember 2008

MENJADI IBU RUMAH TANGGA, DERITA ATAU BAHAGIA?

Ada sebuah karikatur yang menggelitik tentang peran dan status ibu rumah tangga yang diangkat oleh Elizabeth B.Hurlock dalam bukunya Psikologi Perkembangan, 1994 sebagaimana gambar berikut ini:





















Bisa jadi gambar ini mewakili pendapat sebagian besar perempuan tentang peran dan status ibu rumah tangga yang mereka anggap kurang adil dan kurang memberdayakan bagi kaum mereka. Para ibu ini merasa begitu dibebani oleh sedemikian banyak pekerjaan dan terjebak dalam rutinitas yang membuatnya frustrasi dan kelelahan. Belum lagi kurangnya apresiasi yang layak atas apa yang telah mereka lakukan, membuat mereka jadi menganggap diri tak berharga jika hanya menyandang status ibu rumah tangga semata.

Selanjutnya demikian menurut Hurlock:

Sikap yang tidak positif ini diperkuat oleh ”sindrom suami yang malas”. Sang istri marah melihat suaminya menganggap pekerjaan rumah tangga itu gampang dan dapat dikerjakan dengan bersantai-santai dan bersenang-senang, sedangkan ia bekerja dari pagi hingga malam, selama tujuh hari dalam satu minggu, terus menerus.

Sindrom suami yang malas digambarkan sebagai berikut:

Suami pada akhir suatu hari yang ”panjang” di kantor yang ber-AC, ketika pulang tinggal minta minum, merebahkan dirinya dengan letih di kursi dengan koran di tangan atau di hadapan televisi. Sejam kemudian ia bangun untuk makan malam, mengeluh bahwa daging kurang matang, mencium pipi istri dan kemudian keluar rumah dengan tim bowlingnya, minum bir, pulang menonton televisi lagi, kemudian merebahkan dirinya di tempat tidur. Sementara itu istrinya, yang telah bekerja sepanjang hari, mempersiapkan makanan, mencoba mengatur anak-anak supaya suami dapat beristirahat, menyuap bayi, menghidangkan makanan, mencuci piring, memberi makan anjing, memandikan anak-anak, meninabobokan mereka, memasukkan cucian ke mesin cuci, menyeterika, menonton televisi selama satu jam sambil menisik. Ini berlangsung hari demi hari. Suami merasa bahagia, tetapi istrinya lambat laun merasa kurang bahagia, tegang dan letih. (hal 272).


Berseberangan dengan apa yang dituliskan Hurlock, kaum Ibu di Jepang justru merasa bahagia, tersanjung dan dimuliakan dengan jabatan dan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Istilah Ryosai Kentro (istri yang baik dan ibu yang arif) menggambarkan suatu kebijakan yang memposisikan kaum wanita sebagai ‘penguasa rumah’, yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di rumah. Dari mulai pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, masalah keuangan, dan pendidikan anak.

Bahkan mereka tak segan-segan mengundurkan diri dari karir mereka demi mengasuh dan mendidik sendiri anak-anak mereka di rumah. Rilis Kementerian Kesehatan-Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang tanggal 17 Maret 2004 mengungkapkan bahwa 61% ibu muda Jepang meninggalkan pekerjaannya diluar rumah setelah melahirkan anak pertama. Hal ini mungkin juga karena pandangan tentang peran ganda perempuan – yaitu sebagai ibu sekaligus wanita pekerja –dianggap sebagai chuto hanpa- alias peran tanggung, tidak populer di Jepang. Menjadi ibu manusia Jepang atau tidak sama sekali, itu pilihannya. Menjadi ibu rumah tangga dianggap sama profesionalnya dengan wanita pekerja Jepang-wanita tidak menikah/menikah tidak melahirkan anak yang bisa mencapai jabatan yang setinggi-tingginya apabila dia sanggup dan mampu. Astronout wanita Asia pertama, bahkan mungkin yang pertama pula di dunia, terbang dua kali dengan NASA, space-shuttle Columbia-Juli 1994 dan Discovery-Nov 98, adalah wanita Jepang, Dr. Chiaki Mukai. Menlu sekaligus Deputi Perdana Menteri dari negara super economic power sekaligus bangsa tersejahtera di dunia serta memiliki harapan hidup terlama, dan sedang berjuang meningkatkan peranan Jepang di Dewan Keamanan PBB, adalah seorang wanita, Yoriko Kawaguchi.

Motivasi utama para wanita Jepang yang memilih karirnya sebagai ibu rumah tangga profesional (senggyo syuhu) maupun sebagai ibu pendidikan (kyoiku mama) adalah untuk melaksanakan ikuji-meletakkan dasar pendidikan berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya, terutama di masa-masa emas, yaitu pada usia tiga tahun pertama masa perkembangan pesat otak seorang anak.

Kyoiku Mama
adalah istilah yang mengacu pada Ibu-ibu Jepang yang terus menerus mengembangkan bakat anak-anak mereka dan menyekolahkan mereka di Universitas terbaik. Seorang pengamat Jepang, Reingold, mendefinisikan Kyoiku Mama sebagai berikut : She becomes directly involved in and identified with the child’s succes or failure. Terjemahan bebasnya : Para ibu pendidikan itu secara langsung terlibat dalam kesuksesan atau kegagalan anak-anaknya. Dan mereka juga dinilai berdasarkan kesuksesan atau kegagalan mereka. Ibu-ibu pendidikan Jepang, Kyoiku Mama, mengajarkan disiplin, pengorbanan, kerja sama dan kesederhanaan di rumah. Sekolah, yang mengajarkan hal-hal akademis, tidak direpotkan lagi dengan masalah-masalah perilaku anak didik karena nilai-nilai luhur telah melebur dalam karakter setiap siswa sejak dari rumah.

Para ibu di Jepang memiliki gelar kesarjanaan yang mentereng, walaupun mereka ‘hanya’ bertugas mengurusi rumah. Mereka beranggapan bahwa pendidikan yang mereka tempuh selama ini tidak sia-sia yakni untuk memperjuangkan pendidikan anak-anak mereka ketimbang mengejar karir dan cita-cita. Jika mereka ditanya, "Mengapa berhenti bekerja. Apakah tidak sayang pendidikannya yang tinggi tidak dipakai?" gantian mereka bertanya, "Apakah di rumah itu tidak memerlukan pendidikan yang tinggi?". Mereka lebih suka banyak tinggal di rumah untuk membuat makan siang, mencuci dan menyetrika seragam sekolah dan terus menerus memotivasi anak-anaknya untuk bekerja keras meningkatkan prestasi akademis mereka. Dan mereka lebih senang disebut sebagai wanita yang sukses dalam mencetak anak-anaknya yang berhasil, dan bukan karier mereka. Terbukti sistem ini sungguh berhasil dalam meningkatkan laju kemakmuran Jepang.

Tak heran jika anak-anak di Jepang , pria dan wanita, sangat sayang dan mengagumi ibu-ibunya. Sebagai jelmaan Dewi Amaterasu yang dipuja oleh bangsa Jepang. Kikunatara okasan ni naritai (kalau besar ingin menjadi ibu) adalah cita-cita anak perempuan Jepang yang mungkin langka dimiliki oleh anak-anak perempuan di Indonesia.

Di Indonesia, kebanyakan para perempuannya merasa sayang jika pendidikan tinggi mereka hanya berakhir di pekerjaan rumah tangga. Akibatnya anak Indonesia dari golongan ibu berpendidikan malah berada dalam haribaan para pembantu rumah tangga dan baby sitter. Karena kedua orang tuanya bekerja, anak-anak mereka diasuh dan dididik oleh pembantunya. Memang anak-anak itu bisa menyelesaikan pendidikan yang setinggi-tingginya dan mendapat dukungan finansial yang kuat. Tetapi ada satu hal yang berbeda yaitu: pola pikir dan jiwa mereka bukan duplikasi dari orang tuanya mereka - tetapi duplikasi dari pembantunya.

Padahal R.A.Kartini dalam salah satu suratnya juga berpendapat bahwa anak-anak perempuan perlu mendapat pendidikan adalah agar perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan oleh Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu-pendidik manusia yang pertama-tama. (4 Oktober 1902 Kepada Tn Anton dan Nyonya. Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane. PN Balai Pustaka 1985)

Simaklah pengalaman Mulia Kuruseng (www.Hidayatullah.com) yang meskipun tak memiliki gelar akademis tinggi, namun mampu mengantar 15 anaknya meraih gelar kesarjanaan, hanya dengan modal: IKHLAS.

Saya ingin mengajak para Ibu untuk berintrospeksi, melakukan flashback ke zaman para ibu kita dahulu. Bandingkan betapa banyak bedanya kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan generasi kita dan sebelumnya. Para Ibu kita dahulu mungkin jauh kurang berpendidikan dibanding kita sekarang, namun mampukah kita menghasilkan generasi penerus yang lebih baik daripada yang dihasilkan oleh ibu-ibu kita? Perhatikanlah, bahwa orangtua kita telah menjadikan kita seperti sekarang ini karena sikap hidup mereka yang PRIHATIN, DISIPLIN dan TANPA PAMRIH. Mereka mengajarkan nilai- nilai budi pekerti bukan melalui omongan tetapi tindakan. Melalui contoh dan teladan dalam sikap hidup sehari-hari. Dan itu lebih efektif bagi anak-anak untuk menyerapnya. Bukankah: orangtua berbuat, anak melihat. Orangtua melakukan, anak meneladan. Bagaimana dengan kita, para ibu generasi sekarang?

Jangan takut menjadi ibu rumah tangga. Jangan merasa rendah diri dan tak berharga karenanya. Semua itu tergantung dari paradigmanya, apakah kita menganggap peran dan status ibu rumah tangga sebagai kutukan atau sebagai berkat. Sebagai berkat, paling tidak sudah ada satu modalnya. Sebuah studi yang dilakukan Pusat Kanker Nasional Jepang di Tokyo membuktikan orang dewasa yang beraktivitas secara rutin, baik melalui olahraga maupun bekerja, berisiko lebih rendah mengalami kanker tipe apa pun. Aktivitas fisik yang dimaksud antara lain adalah olahraga rekreasi, berjalan, pekerjaan buruh, dan pekerjaan rumah tangga.

Breast Cancer Research, sebagaimana dilansir dalam situs BBC mengatakan bahwa latihan fisik secara teratur, seperti lari, aerobik, atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang berat seperti berkebun, membersihkan perabot rumah dari debu, mengepel lantai dan membersihkan karpet dengan vacuum cleaner atau memasak, membersihkan rumah dan mencuci yang menghabiskan waktu rata-rata 16 hingga 17 jam setiap minggunya lebih baik ketimbang melakukan pekerjaan lain yang menguras fisik dalam menurunkan tingkat risiko terkena kanker payudara hingga 30 persen. Hal ini merupakan hasil studi selama 11 tahun terhadap 32.000 perempuan. Para peneliti lainnya yang telah melakukan riset ini terhadap 200 ribu wanita dari 9 negara bagian Eropa membuktikan bahwa mereka yang rajin beres-beres rumah lebih terlindung dari bahaya kanker ketimbang wanita yang hanya berolahraga.

Aktif di rumah dan mengerjakan segala kegiatan rumah tangga bagi wanita pra menopause dapat mengurangi risiko kanker sebanyak 29% dibandingkan dengan mereka yang tidak aktif membersihkan rumah. Sedangkan bagi wanita yang telah menopause, kegiatan ini bermanfaat hingga 19%.

Jadi, apalagi?

Selamat Hari Ibu. Selamat Berbahagia Menjadi (Hanya) Ibu Rumah Tangga “Saja”.

Salam dan sampai jumpa.

Sumber: Dari berbagai sumber.

Senin, 15 Desember 2008

BELAJAR MENDENGARKAN

Baru saya sadari bahwa ternyata kegiatan "mendengarkan" itu tidak mudah.

Sudah lama saya diberitahu bahwa antara "mendengar" dan "mendengarkan" itu ada beda yang cukup signifikan. Dan hari ini saya belajar, bahwa proses mendengarkan pun ada bermacam-macam.

Ada orang yang setelah mendengarkan langsung menimpali, menganggap si pencerita sedang butuh solusi.
Ada juga yang bahkan malah menghakimi. Mengoreksi sana sini yang mungkin perlu dibenahi.
Ada yang mendengarkan dengan empati, tapi setelah itu malah terhanyut sendiri.
Ada yang mendengarkan sambil sibuk menganalisa dan mengamati, pelajaran apa yang kira-kira bisa diambil dari topik yang barusan didengarnya tadi.
Semua itu adalah jenis-jenis mendengarkan dari kacamata sendiri alias dari sudut pandang si pendengar, mengambil manfaatnya untuk kepentingan pendengar, atau bahkan untuk memuaskan ego si pendengar.

Saya akui, saya jarang bisa mendengarkan orang lain dengan tepat. Tepat cara, tepat persepsi, maupun tepat respon. Meski wajah dan telinga saya ada di situ, tapi mungkin pikiran dan hati saya tidak sedang berada di posisi di pencerita, melainkan pada diri saya sendiri. Yang paling sering saya lakukan adalah mencoba berempati, meletakkan posisi saya pada posisinya dan mencoba merasakan apa yang dia rasakan. Tapi mungkin karena saya tipe orang yang selalu ingin menarik sebuah pelajaran dari sebuah peristiwa, selama mendengarkan saya sibuk mencari benang merah dari apa yang disampaikan si pencerita, dan bukan benar-benar hanya mendengarkan saja. Padahal mungkin orang lain justru membutuhkan yang terakhir, seorang pendengar yang benar-benar hanya mendengarkan saja. Titik.

Mirip dengan kegiatan mengamati yang pernah saya tuliskan pada postingan sebelumnya, kita perlu belajar (hanya) mengamati saja, tanpa apriori, tanpa prasangka, tanpa menganalisa. Mungkin hal serupa perlu kita terapkan dalam hal mendengarkan ini.

Kenapa mendengarkan jadi penting untuk dibahas?
Yang pertama, untuk mengurangi kemungkinan konflik.
Yang kedua, untuk menolong memberi kelegaan kepada si pencerita.
Yang ketiga dan seterusnya, tolong cari sendiri, hehehe...

Untuk yang pertama, seringkali ketidakmampuan kita untuk mendengarkan orang lain menjadi sumber pemicu konflik. Ketika menyaksikan acara debat yang ditayangkan di TV, saya lebih suka tidak mendengarkannya, karena acara tersebut saya anggap lebih banyak mengeksploitasi adu kata-kata dan pendapat yang seringkali bukannya membantu mencerdaskan pendengar, malah sibuk memperluas ego peserta masing-masing. Nggak asyik ahh... Tapi jika forum memang dihadirkan untuk saling menginspirasi, biasanya setelah acara tersebut berakhir, ada tersisa suatu kesan yang bisa dipetik oleh pendengar. Dan itu lebih bermanfaat saya kira.

Mendengarkan yang dapat mengurangi kemungkinan konflik adalah ketika kita bersedia meluangkan waktu dan energi kita benar-benar untuk orang yang kita dengarkan. Terlibat secara aktif dalam bahasa tubuh maupun kata-kata dukungan (sekalipun belum tentu si pencerita ada pada posisi yang benar dalam kasusnya. Itu bukan tujuan kita untuk menganalisanya). Kita tidak menyerang dan menghakimi kesalahannya, melainkan kita benar-benar memposisikan diri sebagai si pencerita, yang notabene pasti menganggap dirinya benar. Dengan cara seperti ini kita bisa mengurangi konflik di awal.
Dengarkan saja dulu, berikan dukungan sebesar-besarnya apapun yang dilakukan oleh si pencerita dalam kasusnya, baru boleh berkomentar (itu pun kalau dirasa perlu).
Kesalahan yang selama ini saya lakukan adalah tidak sabar untuk menegur jika saya merasa ada kekeliruan yang perlu diluruskan dalam kasus si pencerita. Padahal tujuan mendengarkan adalah justru untuk mengajar kita sabar menerima kesalahan orang lain apa pun dan sebesar apapun masalahnya.

Yang kedua, untuk menolong memberi kelegaan kepada si pencerita.
Apapun masalahnya, terlepas dari benar atau salah, ketika kita mendengarkan orang lain, kita telah berbuat baik. Setiap kita adalah pribadi yang butuh didengarkan, butuh didukung, butuh dibesarkan hatinya. Ketika kita mau memberi diri untuk menutupi kebutuhan orang lain, kita sudah berbuat baik. Bukan hanya si pencerita yang memperoleh kelegaan, kita pun memperoleh berkah dan manfaat tersendiri. Karena setiap proses mendengarkan, sekali pun menuntut kesediaan kita untuk menyisihkan waktu kita, akan memperoleh imbalannya dalam bentuk lain. Jadi, jangan pernah segan mendengarkan orang lain. Jangan pernah merasa membuang waktu dengan sia-sia ketika mendengarkan orang lain, karena Tuhan senantiasa melihat dan memperhitungkan setiap perbuatan baik yang kita lakukan.

Semoga bermanfaat. Selamat belajar mendengarkan.

Salam,

Minggu, 07 Desember 2008

MENGUBAH SAMPAH MENJADI EMAS (3)

Multilayer atau sampah kemasan produk isi-ulang yang sudah dibersihkan dikumpulkan dan siap dijadikan bahan baku produk daur-ulang seperti tas.

"Trashion, from waste to style"
, adalah program yang dicanangkan Unilever Peduli Foundation (UPF) untuk mengurangi dampak pencemaran kemasan plastik terhadap lingkungan.

Sebagaimana kita ketahui, selain sampah organik yang kemudian umumnya dimanfaatkan sebagai kompos, ada juga sampah non organik alias sampah yang tidak dapat hancur, di antaranya limbah kemasan plastik. UPF bersama-sama dengan para kader binaannya mencoba mereduksi limbah plastik bekas kemasan produk Unilever dengan cara mengubahnya menjadi barang-barang kerajinan daur ulang bernilai ekonomis. Di antaranya seperti tas laptop, dompet untuk telepon seluler, korden kamar mandi, tas berwarna merah dari limbah kemasan Royco, tas yang berukuran lebih kecil dari limbah kemasan plastik sabun Lux, kotak tempat sampah berwarna ungu dari limbah kemasan pewangi pakaian, tas belanja berwarna hijau, dibuat dari bekas kemasan cairan pembersih lantai, payung colorful kolase dari limbah kemasan berbagai produk, sampai dengan sandal biru muda yang catchy bertuliskan Molto!

Berdasarkan riset yang dilakukan di Surabaya pada tahun 2006, mengenai sampah post-consumer, hasilnya adalah sampah plastik yang dihasilkan di Surabaya sebanyak 96.000 ton/ per tahunnya, sekitar 10% dari total penghasilan sampah secara umum. Dari hasil ini, sekitar 4.000 ton/ per tahun ( sekitar 4 persen dari total sampah plastik) adalah sampah plastik dari packaging Unilever dan 45 persennya adalah plastik berlapis. Karena itulah kemudian UPF mengadakan Program Daur Ulang Sampah Plastik ini, untuk mengurangi pengaruh sampah plastik Unilever bagi lingkungan dan mengubah sampah multilayer yang harganya sangat murah itu (sekilo Rp 500) menjadi punya nilai.

Sejauh ini, usaha industri daur ulang biasanya menerima sampah plastik dari pengepul dan menolak kemasan langsung dari pabrik-pabrik. Sampah plastik jenis ini kemudian diubah menjadi pellet plastik yang dapat diubah lagi menjadi produk plastik daur ulang lain seperti mainan anak, vas, tali tambang dsb. Namun untuk plastik berlapis (multilayered plastic) teknologi pengolahannya belum banyak dikembangkan karena lebih rumit dan tidak memiliki keuntungan ekonomi yang viable. Dalam proses mengubah limbah kemasan plastik menjadi barang kerajinan, yang cukup sulit sebenarnya proses menjahit. Sebab, multilayer tersebut licin dan juga keras. Butuh waktu sekitar tiga bulan untuk menguasai cara menjahit dan menghasilkan produk yang rapi.

Sampah plastik itu sebelumnya telah dipilah warga. Warga tidak mengirimkan sampah tersebut ke bank sampah melainkan ke rumah produksi Trashion.

Sebelumnya sampah-sampah ini dicuci dengan sabun dan pemutih desinfektan. Fungsi sabun adalah melepaskan kotoran-kotoran yang menempel di kemasan, sedangkan pemutih desinfektan untuk menghilangkan kuman dan bakteri selama lebih kurang 30 menit. Jadi plastik-plastik ini benar-benar steril dan hygienis.

Setelah dicuci dan dibersihkan, plastik-plastik ini kemudian dikeringkan dengan cara dijemur, yang dapat makan waktu sampai satu hari. Setelah kering, proses selanjutnya adalah pemotongan plastik. Ukuran potongan ditetapkan selebar 5 centimeter untuk memudahkan proses penjahitan. Setelahnya, potongan-potongan ini dipisahkan menurut gambar yang ada di kemasan. Tahap terakhir adalah menyatukan potongan-potongan tersebut dengan cara dijahit sesuai pola.

Animo warga terhadap produk daur ulang sampah plastik ini tinggi. Terbukti dari lakunya produk ini saat dipasarkan di pasar modern. Saat produk ini diikutkan dalam bazar yang diselenggarakan di Parkir Timur Senayan Jakarta, dalam tiga hari laku sampai mencapai omzet Rp 32 juta. Sampah ternyata tidak hanya dapat merepotkan warga. Di tangan yang tepat, sampah dapat menghasilkan uang.

Semoga bermanfaat.

Sumber: Dari berbagai sumber

MENGUBAH SAMPAH MENJADI EMAS (2)

Melanjutkan sedikit postingan yang lalu tentang mengelola "sampah", berikut saya comot bulat-bulat artikel dari Kompas, 1 Desember 2008 sebagai bukti nyata telah diimplementasikannya pengelolaan sampah atas inisiatif masyarakat sendiri (bukan pemerintah).

Judulnya: GERAKAN BANK SAMPAH DARI BANTUL.











Setiap pukul 16.00, antrean nasabah bank sampah biasanya sudah panjang. Mereka bukannya menanti giliran menyetor uang seperti di bank pada umumnya, melainkan sampah yang mereka kumpulkan selama dua hari. Meski yang disetorkan wujudnya tidak sama, pengelolaan bank sampah mirip dengan bank pada umumnya.

Setiap nasabah datang dengan tiga kantong sampah berbeda. Kantong I berisi sampah plastik, kantong II sampah kertas, dan kantong III berupa kaleng dan botol. Ketika menimbang sampah, nasabah akan mendapat bukti setoran dari petugas teller. Bukti setoran itu menjadi dasar penghitungan nilai rupiah sampah, yang kemudian dicatat dalam buku tabungan. Untuk membedakan, warna buku tabungan tiap RT dibuat berbeda.

Setelah sampah terkumpul banyak, petugas bank menghubungi tukang rosok. Tukang rosok memberi nilai ekonomi tiap kantong sampah milik nasabah. Catatan nilai rupiah itu lalu dicocokkan dengan bukti setoran dan kemudian dibukukan.

Harga sampah bervariasi bergantung pada klasifikasinya. Kertas karton dihargai Rp 2.000 per kg, kertas arsip Rp 1.500 per kg. Sedangkan plastik, botol, dan kaleng harganya menyesuaikan ukuran.

Tiap nasabah memiliki karung ukuran besar, yang tersimpan di bank untuk menyimpan seluruh sampah yang mereka tabung. Tiap karung diberi nama dan nomor rekening tiap nasabah. Tujuannya agar setiap tukang rongsok datang, petugas bank tidak kebingungan memilah tabungan sampah tiap nasabah. Karung- karung sampah itu tersimpan rapi di gudang bank.

Gemah Ripah

Bank Sampah Gemah Ripah, didirikan masyarakat Dusun Bandegan, Bantul, DI Yogyakarta, tiga bulan lalu. Kini jumlah nasabahnya 41 orang dari 12 RT di dusun tersebut. Pada tahap awal mereka masih membatasi diri untuk warga satu dusun, tetapi bila sudah memungkinkan nasabah tidak akan dibatasi asalnya.

Tidak semua sampah disetor ke tukang rosok. Sebagian di antaranya, yakni jenis plastik sachet dan gabus, diolah sendiri oleh bank sampah. ”Plastik sachet kami hargai Rp 15 per sachet, sementara gabus bergantung pada ukuran,” ujar Ismiyati, koordinator daur ulang sampah.

Plastik-plastik itu lalu diolah untuk membuat aneka aksesori rumah tangga, seperti tas, dompet, hingga rompi. Barang-barang tersebut dijual dengan harga Rp 20.000-Rp 35.000. ”Beberapa pembeli asing minta dikirim contoh barang. Kalau mereka setuju, pesanan yang kami terima akan menumpuk. Karenanya, stok bahan baku harus banyak. Kami sudah meminta warga untuk lebih aktif menabung sampah,” katanya.

Sampah jenis gabus biasanya dibuat menjadi pot bunga, tempat dudukan bendera, atau perlengkapan rumah tangga lainnya. Gabus-gabus itu dicampur dengan pasir dan semen. ”Produksi dari bahan gabus pesananannya masih lokal saja,” kata Ismiyanti

Menurut Panut Susanto, ketua pengelola bank sampah, sampah yang terkumpul tiap minggu mencapai 60-70 kg. Untuk sementara jam layanan bank dimulai pukul 16.00-21.00 tiap hari Senin-Rabu-Jumat. ”Kami baru bisa melayani pada sore hari karena sebagian besar petugas bank harus bekerja pada pagi hari,” katanya.

Belum maksimalnya kinerja petugas karena mereka mengelola bank sampah tanpa dibayar. Artinya, mereka harus tetap bekerja untuk membiayai kehidupan keseharian. ”Apa yang kami kerjakan sifatnya masih sosial. Jadi, kami memang tidak mengharapkan upah karena kondisi bank belum maksimal,” katanya.

Bank sampah memotong dana 15 persen dari nilai sampah yang disetor nasabah. Dana itu digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, seperti fotokopi, pembuatan buku tabungan, dan biaya lainnya. ”Selama ini tidak ada nasabah yang keberatan. Kami harus melakukan pemotongan karena bank ini memang dikelola bersama-sama,” katanya.

Berbeda dengan bank tempat nasabah bisa mengambil dana setiap saat, di bank sampah nasabah hanya bisa menarik dana setiap tiga bulan sekali. Tujuannya agar dana yang terkumpul bisa lebih banyak sehingga uang tersebut dimanfaatkan sebagai modal kerja atau keperluan yang bersifat produktif.

”Kalau dibebaskan, mereka bisa konsumtif. Baru terkumpul Rp 20.000-Rp 30.000 sudah tergiur untuk mengambil. Karena hanya tiga bulan sekali, mereka bisa menarik dana sampai Rp 100.000-Rp 200.000 bergantung pada banyaknya sampah yang ditabung,” kata Bambang Suwirda, penggagas bank sampah.

Tersimpan

Menurut Bambang, dana kelolaan yang saat ini tersimpan tinggal Rp 500.000. Sebagian besar nasabah sudah mengambil saat Lebaran lalu. Untuk sementara, dana nasabah disimpan sendiri oleh pengelola bank. Ke depan, pengelola akan menjalin kerja sama dengan Bank Bantul untuk menyimpan dana nasabah.

Para pengelola bank juga bertekad memperluas operasional bank agar tidak terbatas pada penyimpanan, tetapi juga peminjaman. ”Dalam konsep bank sampah, barang jaminan mungkin berupa sampah juga,” katanya.

Fokus sampah yang dikumpulkan saat ini masih sebatas sampah anorganik. Ke depan, sampah organik juga akan diterima, yang selanjutnya diolah menjadi pupuk kompos.

Bagi para nasabah, keberadaan bank sangat membantu. Mereka bisa mendapat penghasilan tambahan sekaligus kebersihan lingkungan sekitar terjaga. ”Lumayanlah tiap bulan ada pemasukan tambahan. Hitung-hitung buat nambah dana belanja dapur,” kata Sutiyani, warga setempat.

Bila gerakan bank sampah bisa meluas ke berbagai desa, masalah sampah bisa tertangani. Tak hanya itu, perekonomian masyarakat juga ikut membaik sehingga angka kemiskinan bisa ditekan.

Di Bantul, produksi sampah per hari mencapai 614 meter kubik. Sayangnya, pemerintah daerah setempat belum berpikiran ke arah itu. (ENY PRIHTIYANI)

Sebelumnya, Kompas juga pernah memuat artikel sejenis dengan judul:


MASYARAKAT BANDEKAN DIRIKAN BANK SAMPAH.


Maisurah, tengah mengolah sampah kain menjadi keset, di Bank Sampah, RT 10 RW 02, Pejaten Indah II, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

BANTUL, KAMIS - Sampah tidak lagi dilihat sebelah mata. Masyarakat Dusun Bandekan, Bantul sudah meliriknya menjadi bahan baku aneka kerajinan. Mereka bahkan mendirikan bank sampah sebagai penghasilan tambahan yang menjanjikan. Lewat bank ini, sampah-sampah dikumpulkan lalu diolah kembali menjadi barang aksesoris rumah tangga.

Bank sampah menerima sampah jenis anorganik dari seluruh warga. Tiap warga akan dibuatkan buku tabungan. "Setelah sampah disetorkan ke bank dan ditimbang, uangnya langsung dimasukan ke buku tabungan. Jadi masyarakat bisa punya simpanan dari sampah yang mereka kumpulkan sendiri," kata Siti Badriah (18), Sekretaris di Bank Sampah Bandekan, di sela-sela acara Bantul Ekspo, Kamis (7/8).

Ada beberapa jenis sampah anorganik yang diterima bank sampah yakni kertas, plastik, botol, dan kaleng. Untuk setiap 1 kilogram kertas dihargai Rp 2.000/Kg, plastik Rp 1.500/Kg, sedangkan untuk botol tergantung ukurannya.

Di RT 12 Dusun Bandekan ada 55 keluarga yang tercatat sebagai nasabah bank sampah. Mereka menabung sampah setiap hari Rabu dan Jumat. "Awalnya kami hanya melayani warga 1 Rt, tetapi dalam perkembangannya jumlah nasabah terus meluas hingga ke luar dusun," katanya.

Tidak hanya menabung, warga khusus ibu-ibu juga mengolahnya menjadi aneka timbangan. Sampah plastik misalnya dimanfaatkan untuk bahan pelapis sandal, tas, dan perabot lainnya. Plastik juga bisa dimanfaatkan untuk bahan isian bantal. Kertas bisa didaur ulang untuk membuat frame foto dan pelapis boks.

Pemanfaatan sampah juga dilakukan masyarakat Dusun Metes, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu. Mereka mengumpulkan sampah-sampah sachet seperti bungkus kopi, detergen, dan berbagai produk pabrikan lainnya untuk bahan pelapis aneka aksesoris. Dengan ditambah pelapis, harga sandal rumah yang biasanya hanya berkisar Rp 5.000/pasang bisa naik menjadi Rp 15.000/pasang.

Gagasan ini terinspirasi dari kegiatan serupa di daerah lain. "Kami juga mendapat banyak informasi soal pemanfaatan sampah dari TV dan koran," kata Ibu Fajar Purwaningsih.

Fajar menuturkan, pada tahap awal gagasan memanfaatkan sampah tersebut sempat tidak diterima warga karena dianggap tidak lazim. Namun berkat dukungan sejumlah warga yang kemudian mendirikan kelompok usaha, kegiatan ini pun dicintai masyarakat sekitar.

(Sumber: Kompas, 7 Agustus 2008/Eny Prihtiyani)

Semoga bermanfaat dan menggugah kita semua untuk lebih mencintai bumi.

Salam,

Sabtu, 06 Desember 2008

MENYEMANGATI DIRI SENDIRI (5)

Apa tujuan akhir dari menyemangati diri?

Jika tujuannya sekedar membuat perasaan menjadi lebih nyaman atau sekedar menghibur-hibur diri, maka bisa-bisa proses menyemangati diri hanya akan menjadi sebuah aktivitas yang diulang-ulang tanpa mengandung satu nilai pembelajaran dan segera akan mengalami titik jenuh.

Menyemangati diri haruslah lebih dari sekedar mengipas-ngipas kekecewaan agar lekas pergi. Akan lebih baik dan bermanfaat jika menyemangati diri selalu ditujukan pada peningkatan kualitas. Bermuara pada kualitas.

Apa maksudnya?
Menyemangati diri biasanya kita lakukan akibat timbulnya rasa kecewa. Dan rasa kecewa muncul karena adanya kegagalan (atau yang kita anggap gagal). Nah, jangan sampai, menyemangati diri yang kita lakukan hanya sekedar menyembuhkan rasa kecewa, tapi tidak memperbaiki sumber kegagalannya. Kita harus selalu belajar dan berusaha mencari tahu, mengapa kita gagal di waktu yang lalu. Dari kegagalan itulah kita belajar meningkatkan kualitas dan profesionalitas.

Sebagai contoh, saya saat ini sedang mencoba berbisnis kue basah. Resikonya adalah, kue-kue tidak laku dan dikembalikan. Pada saat menerima kembali kue yang tidak laku, tentu saja ada rasa kecewa, merasa gagal. Kemudian saya tentunya akan berusaha menyemangati diri agar perasaan menjadi lebih nyaman. Nah, jika saya hanya berhenti hanya sampai perasaan menjadi lebih nyaman, maka bisa jadi esoknya saya akan melakukan kesalahan yang sama yang menyebabkan kue-kue saya kembali dipulangkan. Tapi jika saya melanjutkannya dengan proses introspeksi, maka saya akan tahu di mana kira-kira saya perlu memperbaiki diri. Dengan demikian proses menyemangati diri menjadi lebih bermakna.

Menyemangati diri adalah sebuah proses mental. Tapi sumber masalah sebenarnya bisa jadi bukan terletak pada faktor mental. Bisa jadi terletak pada faktor keterampilan (skill) atau profesionalitas kita. Kue-kue saya dikembalikan bukan untuk menguji seberapa besar ketegaran saya menghadapi kegagalan, tapi mungkin karena cita rasa yang buruk atau penampilan yang kurang mengundang minat, sehingga butuh perbaikan pada kesempatan berikutnya. Jadi solusinya di sini adalah, saya harus meningkatkan kualitas dan keterampilan saya dalam membuat kue, bukan sekedar menghibur-hibur diri dari rasa kecewa.

Memang ada faktor lain yang menyebabkan kegagalan atau keberhasilan. Yaitu faktor luck. Ini tak bisa dipungkiri dan kita harus bisa menerimanya dengan besar hati. Kadang produk yang kita anggap masterpiece tidak laku di pasaran, tetapi sebaliknya yang kita anggap biasa-biasa saja, malah disenangi pasar. Kita harus benar-benar jeli mengamati dan belajar tentang keadaan pasar. Dan selebihnya mengelola kekecewaan agar tak terlalu berlebihan.

Belajar, belajar dan terus belajar, itu adalah langkah menyemangati diri yang paling membebaskan, karena pembelajaran tidak pernah mengecewakan, selalu ada hikmah yang kita petik, selalu ada ilmu yang kita peroleh, berapa pun kecilnya.

Yakinlah, bahwa tidak ada yang sia-sia dari apa yang pernah kita alami ketika kita selalu mau terbuka untuk belajar dan memperbaiki diri.

Salam,

Kamis, 04 Desember 2008

MENYEMANGATI DIRI SENDIRI (4)

Jika kita sedang merasa patah, kehilangan bahkan kehabisan semangat, pernahkah bertanya pada diri sendiri, apa sumber semangat yang tak pernah ada habisnya?

Jawabnya adalah: NIAT BAIK.

Setiap niat baik yang muncul dalam diri kita adalah sumber semangat terbesar. Sifatnya internal dan tidak bisa habis atau lenyap, kecuali kita yang mengizinkannya.

Perhatikanlah, ketika kita mempunyai niat baik untuk membahagiakan orang yang kita cintai, ingin memberi hadiah untuk orang yang kita anggap berjasa, ingin menolong orang yang sedang kesusahan, kita seolah mempunyai energi baru untuk mewujudkannya. Semua rasa capek dan lelah seolah lenyap tak berbekas digantikan dengan hal-hal indah yang kita bayangkan ketika niat baik itu terwujud nantinya.

Niat baik juga memperlancar arus bantuan dan pertolongan dari Tuhan. Entah itu berupa dana atau fasilitas atau orang-orang yang tiba-tiba saja tersedia untuk mendukung kita. Niat baik merupakan energi positif yang luar biasa besar, sehingga tak heran daya pancarnya begitu kuat, begitu jauh menembus barikade halangan dan setiap aral yang melintang.

Tetapkan sebuah niat baik yang ingin kita lakukan setiap hari, maka hal tersebut akan menjadi sumber semangat kita pada hari itu. Jangan berpikir bahwa niat baik itu harus berupa hal-hal yang spektakuler. Kita bisa memulainya dengan hal-hal sederhana. Misalnya, hari ini saya ingin bersikap mesra pada pasangan saya. Hari ini saya tak hendak mengomeli anak saya. Hari ini saya akan bekerja dengan lebih serius dan sepenuh hati, cermat dan hati-hati. Hari ini saya ingin menyempatkan diri untuk mendengarkan sahabat yang hendak curhat. Hari ini saya ingin memberi sedikit uang bagi mereka yang membutuhkannya, dsb.

Niat baik bukan saja indah dan menggelorakan semangat, namun juga membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dan lebih disayangi. Mari berlomba-lomba mewujudnyatakan sebuah niat baik, dan yakinlah bahwa hidup Anda akan menjadi lebih berenergi.

Selain mengetahui sumber semangat terbesar kita, kita juga perlu mengenali berbagai jenis pelemah semangat kita. Ada yang bersifat internal (dari dalam diri sendiri) ada yang eksternal.

Pelemah semangat internal antara lain: adanya dendam yang tak kunjung diselesaikan, rasa benci, trauma, kuatir dan cemas yang berlebihan, ketakutan, iri hati, rasa bersalah, kesombongan, dsb.

Sementara yang eksternal contohnya adalah kritik yang tidak membangun, fitnah, gosip, penghakiman sepihak, kesalahpahaman, dll.

Diam dan amati ketika tiba-tiba ada orang yang sibuk mendera kita dengan berbagai kritik yang bersifat menghukum dan menghakimi. Jangan bereaksi. Dengarkan saja. Biarkan berlalu jika memang bukan itu kebenarannya. Karena kritik yang tidak membangun, hanya membuat luka tapi tak membalutnya. Hanya membuat kita merasa bersalah, tapi tak memberi solusinya. Jika kita berlama-lama menanggapinya, jangan heran jika semakin lama semangat kita semakin menipis dikikisnya.

Tetapi kritik yang membangun, yang didasarkan pada niat baik dan cinta kasih, akan selalu menginspirasi kita untuk memperbaiki diri. Kritik yang membangun bukan hanya melempar kata-kata tanpa tanggung jawab, tapi juga menyiapkan diri untuk menerima kekurangan kita dan menolong kita membangun citra yang lebih baik. Kritik yang membangun tidak hanya menghakimi dan menyalahkan, tetapi memompakan semangat di balik kelemahan kita.

Semoga kita dapat menjadi pribadi-pribadi yang menyemangati setiap orang di sekitar kita.

Salam,

MENYEMANGATI DIRI SENDIRI (3)

Masih seputar menyemangati diri sendiri.

Jika sebelumnya kita perlu belajar dari orang-orang yang "lebih" dari kita - entah itu lebih berhasil, lebih berpengalaman, lebih cerdik, lebih berani dsb - untuk menyemangati kita, ternyata orang-orang yang "kurang" dari kita pun bisa menjadi penyemangat yang tak kalah hebatnya. Bahkan melalui mereka lah kita jadi sadar, bahwa penderitaan yang kita alami saat ini belum apa-apa. Belum melampaui kekuatan kita.














Dari mereka yang hidup berkekurangan, kita belajar bagaimana tetap survive dalam keterbatasan. Dan inilah hidup yang sejati menurut saya, karena hidup dalam keterbatasan memaksa kita menetapkan prioritas, mana yang merupakan kebutuhan dan mana yang lebih bersifat keinginan. Kadangkala uang yang berlebih, materi yang berlebih, membutakan mata kita untuk melihat batas-batas kebutuhan kita secara apa adanya. Tapi begitu keterbatasan dana, keterbatasan fasilitas, keterbatasan kesempatan menghimpit kita, kita baru berpikir, mana yang lebih urgent, mana yang perlu didahulukan. Kita jadi lebih aktif memilah, mengesampingkan keperluan-keperluan yang kurang efektif dan efisien, kita jadi lebih terampil dan taktis menggeser idaman-idaman dan lebih memilih hidup berpijak pada kenyataan.

Orang yang biasa hidup berkekurangan tahu apa artinya perjuangan tak kenal lelah. Belum lagi kebutuhan hari ini terpenuhi, mereka sudah harus siap menghadapi esok hari yang masih penuh tanda tanya. Padahal kita semua sama-sama punya keterbatasan fisik, keterbatasan waktu. Waktu 24 jam diberikan sama kepada orang yang kaya maupun yang miskin. Tapi tetap saja ada yang mengeluh kurang waktu sebaliknya ada yang kebingungan bagaimana menghabiskan waktu. Dari mereka yang hidup bersahaja, kita belajar bahwa kebutuhan yang sederhana membuat kita lebih kaya akan waktu. Bukannya menghabiskan waktu berjam-jam memelototi televisi, atau berjalan-jalan di mal membelanjakan sebagian besar dana kita untuk barang-barang yang tak sepenuhnya kita butuhkan.













Orang yang hidup bersahaja, berjuang di garis batas hidup dan mati. Dan ini perlu kita homati, karena memerlukan keberanian yang tinggi untuk bisa hidup seperti itu. Anda dan saya, belum tentu berani tinggal dan hidup di pinggir kali. Makan sekali sehari atau tidak sama sekali. Mengais sampah, mengumpulkan pulungan untuk mendapat nafkah duapuluh ribu sehari. Belum lagi jika musibah mendera. Apakah itu yang alami seperti banjir, atau yang non alami seperti penggusuran oleh petugas tramtib. Belum lagi anak-anak yang seolah hidup tanpa masa depan. Tak ada perlindungan rasa aman, atau mendapat pengobatan dan pendidikan yang layak.

Jadi, dengan kata lain, kita belum layak mengeluh dengan penderitaan yang menimpa dan mengecilkan hati kita saat ini. Keterbatasan, kekecewaan, halangan, cobaan, ujian atau apapun lah namanya untuk menggambarkan penderitaan kita, belum seberapa jika dibandingkan apa yang tengah dialami sebagian besar saudara-saudara kita. Dari pengalaman mereka lah kita belajar untuk terus berjuang, terus tegar, berbesar hati, bersyukur atas apapun yang sempat kita alami, karena semua itu membantu kita membentuk karakter berani, ulet, pantang menyerah dan percaya diri.

Semoga kita semua menjadi pribadi yang semakin berkualitas tinggi.

Salam,