Belajar dari orang-orang yang telah lebih dulu berhasil daripada kita, adalah cara lain untuk menyemangati diri sendiri.
Bukan kebetulan jika belakangan ini entrepreneurship gencar diusulkan sebagai langkah alternatif untuk mengatasi berbagai beban kehidupan yang makin menekan. Sampai-sampai Menristek RI Kusmayanto Kadiman, dalam Pesta Blogger 2008 di Gedung BPPT Jakarta, Sabtu 22 November 2008 yang lalu, menganggap perlu dimunculkannya blog-preneur alias blogger yang berjiwa wirausaha (Kompas, 24/11/2008).
Hal senada juga diungkapkan oleh Bob Sadino, seorang entrepreneur kawakan Indonesia, dan Dr.Ir. Wahyu Saidi, MSc - Doktor yang juga pengusaha mie yang sukses dalam forum diskusi "Entrepreneurship Experiencing 2008" di Universitas Indonesia beberapa pekan lalu. Bahkan Bob Sadino memberikan tantangan yang provokatif kepada hadirin bahwa "Siapa saja yang ingin menjadi entrepreneur, keluarlah dari kampus setelah acara ini dan jangan kembali ke sini lagi!". (Kompas, 13/11/2008).
Apa maksudnya? Apakah kita semua tidak perlu bersekolah tinggi untuk dapat menjadi entrepreneur?
Tentu maksudnya bukan itu. Tapi bahwa gelar kesarjanaan tertentu di negeri ini, seringkali bisa menghalangi semangat kita untuk berwirausaha. Saya sendiri sempat mengalaminya, seperti yang diungkapkan Bapak Wahyu Saidi,
"Untuk memulai entrepreneurship, gelar kesarjanaan benar-benar tak berguna, justru sering negatif. Begitu mau menyebar brosur atau nggoreng makanan, ngerasa diri sarjana. Itu bisa jadi awal kegagalan", demikian ujar beliau.
Lagi, menurut pak Wahyu yang telah membuka 410 gerai makanan di 30 kota dan 4 negara ini, ilmu yang didapat di bangku kuliah baru berguna jika bisnis sudah berkembang. Misalnya terkait tuntutan penguasaan manajemen, mekanisme kontrol dan distribusi. Namun, tidak bersekolah juga bukan berarti tidak bisa belajar menguasai ilmu-ilmu ini.
"Kalau mau jadi entrepreneur, mulailah dari sekarang. Jangan berencana mulai setelah lulus kuliah. Apalagi kalau Anda berusaha lulus dengan indeks prestasi tinggi, besar kemungkinan muncul harapan dan iming-iming untuk jadi pegawai", ujar pak Wahyu .
Wah, kata-kata penuh semangat dari 2 pengusaha sukses ini sungguh menyemangati saya. Sejak muda, saya memang tidak berhasrat jadi pegawai. Itu sebabnya, bekerja pada orang lain saya niatkan hanya untuk sementara saja. Untuk mencari pengalaman, mengamalkan ilmu yang saya peroleh di kuliah dan untuk mengumpulkan modal. Dan setelah merasa cukup, saya harus berani memutuskan untuk keluar dari comfort zone tersebut, apapun resikonya.
Berwirausaha melatih kita menjadi berani. Dan itu adalah modal utama dalam hidup ini. Kita juga dilatih sabar, tegar dan tabah dengan adanya berbagai ketidakpastian yang harus kita hadapi setiap kali. Kita dilatih mengalahkan rasa malas, dilatih berpikir dan bertindak taktis dan strategik, serta berjiwa mandiri, tidak selalu mengharap bahkan menuntut pertolongan orang lain melulu. Wirausaha mengajarkan kita hidup dalam arti yang sebenar-benarnya. Kita hidup di alam nyata, ada kerja ada hasilnya. Ada usaha ada pahalanya. Berwirausaha juga membuat hubungan kita dengan Sang Pencipta menjadi lebih dekat. Kita bisa melihat pertolonganNya begitu nyata dalam setiap saat. Kita menjadi lebih mudah bersyukur, serta lebih mudah nrimo jika ada kegagalan menimpa. Tidak cengeng lagi seperti sebelumnya.
Saya bersyukur tengah menjalani sebuah proses yang menghidupkan. Yang mengembalikan jati diri saya sebagai manusia yang terus bergerak dan berubah. Dinamis dan tidak statis. Saya tidak sedang tinggal di air tenang melulu, tapi juga di air yang beriak. Saya menikmati setiap sensasinya sekalipun kadang mendebarkan bahkan mengerikan.
Mudah-mudahan tulisan kali ini bisa menyemangati Anda semua yang tengah berada di titik semangat yang paling rendah. Tuhan menguatkan kita semua. Sampai jumpa pada postingan berikutnya.
Salam,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar