Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. (Matius 9:36)
Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit. (Matius 14:14)
Kata “tergeraklah hati” disebutkan sebanyak 11 kali di Alkitab Perjanjian Baru, yang kemudian selalu diiringi dengan kejadian atau peristiwa yang luar biasa. Apakah itu kesembuhan, atau pun pengampunan dan pemulihan, dan juga mujizat-mujizat.
Kapan dan mengapa biasanya hati kita tergerak? Apakah itu karena belas kasihan, atau karena terinspirasi oleh sesuatu hal, atau karena baru tersadarkan dari yang sebelumnya kita abaikan?
Ada dua hal yang belakangan membuat saya merasa tergerak untuk mulai lebih peduli terhadap bumi kita.
Yang pertama, mengenai issue Global Warming. Acara Kick Andy di Metro TV, Jumat 3 Oktober 2008 kemarin menayangkan tentang bagaimana saudara-saudara kita di Flores yang menderita kekeringan luar biasa sejak 10 tahun yang lalu. Padi yang ditanam selalu gagal karena ketiadaan sumber daya air. Sementara saudara-saudara kita di wilayah lain justru mengalami banjir besar yang menenggelamkan sawah, ladang dan pemukiman mereka. Semua ini bisa terjadi sebagai efek Global Warming. Dijelaskan pula bagaimana bongkahan es di kedua kutub bumi sejak beberapa tahun belakangan telah mulai berguguran dan mencair, sehingga banyak wilayah di negara-negara tertentu mulai tenggelam oleh naiknya permukaan air laut. Sungguh ngeri jika kita tak segera waspada dan mengusahakan pengendalian terhadap penyebab Global Warming ini sejak sekarang.
Yang kedua, masih seputar Global Warming, namun lebih fokus ke persoalan SAMPAH. Harian Kompas, Jumat 3 Oktober 2008 mengangkat isu sampah yang bisa diubah menjadi emas sebagaimana sukses dilakukan oleh Pemerintah Kota Taipei. Sebagaimana kita ketahui, sampah ada berbagai jenis. Ada yang bisa hancur (organik), ada yang tidak bisa hancur (anorganik). Jenis sampah yang kedua inilah yang memiliki potensi merusak bumi jika tak segera dialihfungsikan. Pembakaran sampah, selain menimbulkan pencemaran udara, juga menambah resiko global warming. Untuk itulah Pemerintah Kota Taipei kemudian memikirkan solusi untuk menanganinya dengan tepat agar bermanfaat. Selengkapnya baca di postingan saya berikut.
Memang sulit untuk hati kita tergerak, jika kita tak pernah belajar menempatkan diri di posisi mereka yang menderita dan mengalami secara langsung.
Bagaimana kita bisa berbela rasa pada mereka yang kelaparan jika kita sendiri tak pernah kelaparan?
Bagaimana kita bisa merasakan derita mereka yang tak punya rumah karena digusur, kebakaran atau bencana alam jika kita selalu tidur dengan lelap dalam lindungan rumah yang nyaman dan hangat?
Bagaimana kita bisa merasakan kedinginan akibat banjir jika tak pernah kebanjiran?
Bagaimana kita bisa merasakan hausnya tenggorokan, lengketnya badan oleh keringat dan debu akibat kekeringan dan ketiadaan air?
Sungguh berbela rasa itu tidak mudah, karena dibutuhkan kepekaan hati untuk merasakan sentuhan jemariNya. Kepekaan hanya bisa datang dari hati yang tenang dan bening. Hati yang hening bukan yang riuh oleh semarak duniawi. Hati yang peka adalah hati yang senantiasa terbuka untuk mendengarkan suaraNya dan menanggapi panggilanNya sebagaimana dituliskan tentang nabi Yesaya
Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8)
Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit. (Matius 14:14)
Kata “tergeraklah hati” disebutkan sebanyak 11 kali di Alkitab Perjanjian Baru, yang kemudian selalu diiringi dengan kejadian atau peristiwa yang luar biasa. Apakah itu kesembuhan, atau pun pengampunan dan pemulihan, dan juga mujizat-mujizat.
Kapan dan mengapa biasanya hati kita tergerak? Apakah itu karena belas kasihan, atau karena terinspirasi oleh sesuatu hal, atau karena baru tersadarkan dari yang sebelumnya kita abaikan?
Ada dua hal yang belakangan membuat saya merasa tergerak untuk mulai lebih peduli terhadap bumi kita.
Yang pertama, mengenai issue Global Warming. Acara Kick Andy di Metro TV, Jumat 3 Oktober 2008 kemarin menayangkan tentang bagaimana saudara-saudara kita di Flores yang menderita kekeringan luar biasa sejak 10 tahun yang lalu. Padi yang ditanam selalu gagal karena ketiadaan sumber daya air. Sementara saudara-saudara kita di wilayah lain justru mengalami banjir besar yang menenggelamkan sawah, ladang dan pemukiman mereka. Semua ini bisa terjadi sebagai efek Global Warming. Dijelaskan pula bagaimana bongkahan es di kedua kutub bumi sejak beberapa tahun belakangan telah mulai berguguran dan mencair, sehingga banyak wilayah di negara-negara tertentu mulai tenggelam oleh naiknya permukaan air laut. Sungguh ngeri jika kita tak segera waspada dan mengusahakan pengendalian terhadap penyebab Global Warming ini sejak sekarang.
Yang kedua, masih seputar Global Warming, namun lebih fokus ke persoalan SAMPAH. Harian Kompas, Jumat 3 Oktober 2008 mengangkat isu sampah yang bisa diubah menjadi emas sebagaimana sukses dilakukan oleh Pemerintah Kota Taipei. Sebagaimana kita ketahui, sampah ada berbagai jenis. Ada yang bisa hancur (organik), ada yang tidak bisa hancur (anorganik). Jenis sampah yang kedua inilah yang memiliki potensi merusak bumi jika tak segera dialihfungsikan. Pembakaran sampah, selain menimbulkan pencemaran udara, juga menambah resiko global warming. Untuk itulah Pemerintah Kota Taipei kemudian memikirkan solusi untuk menanganinya dengan tepat agar bermanfaat. Selengkapnya baca di postingan saya berikut.
Memang sulit untuk hati kita tergerak, jika kita tak pernah belajar menempatkan diri di posisi mereka yang menderita dan mengalami secara langsung.
Bagaimana kita bisa berbela rasa pada mereka yang kelaparan jika kita sendiri tak pernah kelaparan?
Bagaimana kita bisa merasakan derita mereka yang tak punya rumah karena digusur, kebakaran atau bencana alam jika kita selalu tidur dengan lelap dalam lindungan rumah yang nyaman dan hangat?
Bagaimana kita bisa merasakan kedinginan akibat banjir jika tak pernah kebanjiran?
Bagaimana kita bisa merasakan hausnya tenggorokan, lengketnya badan oleh keringat dan debu akibat kekeringan dan ketiadaan air?
Sungguh berbela rasa itu tidak mudah, karena dibutuhkan kepekaan hati untuk merasakan sentuhan jemariNya. Kepekaan hanya bisa datang dari hati yang tenang dan bening. Hati yang hening bukan yang riuh oleh semarak duniawi. Hati yang peka adalah hati yang senantiasa terbuka untuk mendengarkan suaraNya dan menanggapi panggilanNya sebagaimana dituliskan tentang nabi Yesaya
Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar