Google

Selasa, 14 Oktober 2008

MERASA CUKUP

Ada satu petikan ayat favorit saya yang bunyinya demikian:

Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."(Mat 6:34)

Dan satu lagi yang merupakan bagian dari Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus:

Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya (Mat 6:11)

Kata "cukup" di sini tentulah bukan sekedar tempelan pemanis atau bunga-bunga kata semata. Jika direnungkan lebih dalam dan lebih cermat, maknanya sungguh dahsyat. Karena di dalam kata "cukup" itulah terletak kebahagiaan sejati, yang dicari manusia sepanjang segala abad.
Setiap manusia yang sudah menemukan rasa cukup, ia sudah bahagia dengan kecukupannya. Tak perlu mencari-cari ke seluruh penjuru dunia, demi menemukan apa yang dianggapnya akan memberinya kebahagiaan. Harta terbesar yang kita miliki adalah ketika kita merasa cukup di dalam diri, karena itu tak akan pernah dicuri oleh siapapun.

Liburan Idul Fitri yang lalu, saya dan keluarga yang kebetulan tidak mudik, menyempatkan diri berekreasi ke sebuah lokasi pemancingan, tak jauh dari rumah. Saya - yang cenderung serakah :-) - sejak awal memang sudah berangan-angan bisa membawa ikan sebanyak-banyaknya ke rumah. Mana adik saya yang enggan ikutan sudah pesan ingin "matangnya" saja. Semakin terpaculah semangat untuk berjuang memperoleh yang terbaik...., hehehe... :)
Ternyata, semangat tinggallah semangat. Akibat terlalu berharap biasanya memang berakhir sebaliknya (wah, pembelaan diri nih). Suami dan anak saya yang iseng-iseng berhadiah malah dapat 3 ikan, sementara saya gigit jari dan bolak-balik kebagian tugas mengurai tali pancing yang melilit. Sebetulnya ada 2 kali kesempatan lagi bisa memperoleh ikan yang sudah kena umpan kami, tapi kemudian lepas. Lagi-lagi hanya saya yang berteriak, yaaahhh.... sayang.

Belakangan baru saya tahu maksud Tuhan. 3 ikan yang kami tangkap itu sudah lebih dari cukup untuk disantap kami berempat. Bahkan karena lumayan besar (3 ikan hampir 2 kilogram beratnya), akhirnya tak habis dimakan dalam sehari, dan harus diinapkan semalam sebelum disapu bersih adik saya keesokkan harinya. Bayangkan, kalau saja jadi 5 ekor yang kami tangkap, mau habis dalam berapa hari tuh ikan dimakan? Saya jadi belajar, makanya jangan rakus, jangan serakah. Semua sudah di atur, tinggal berserah.

Bangsa Israel di padang gurun juga pernah diajar hal yang sama. Ketika Tuhan memerintahkan untuk mengambil roti manna cukup untuk kebutuhan hari itu saja. Jangan menyimpan cadangan, karena esok harinya Tuhan pasti akan berikan yang baru. Tapi ada di antara mereka yang kuatir jika Tuhan tak menepati janji, terlalu kuatir jika-jika mereka terlantar dan kelaparan, dan yang lebih parah lagi, sebenarnya mereka tak mempercayai Tuhan yang Maha Peduli dan Maha Pemelihara. Jadilah mereka menyimpan dengan diam-diam manna yang turun pada hari itu untuk kebutuhan esok harinya. Dan mereka menjadi sangat terkejut manakala esok harinya manna tersebut telah menjadi ulat (belatung).

Saya jadi introspeksi diri. Benar juga, betapa sering saya terlalu memikirkan hari esok padahal hari ini Tuhan sudah cukupi saya dan keluarga untuk bisa tetap hidup. Definisi "CUKUP" antara saya dan Tuhan ternyata berbeda. Jangan-jangan itu sebabnya kita jarang sukses untuk mengucap syukur, karena kita baru ingin bersyukur setelah merasa cukup.

Apa batasan CUKUP buat kita? Apakah kita sudah merasa cukup jika kita masih bisa makan dan minum sewajarnya pada hari ini? Atau sebaliknya, sementara kita sedang makan (menikmati berkat Tuhan pada hari ini) pikiran kita melayang-layang tentang tabungan pendidikan untuk anak, asuransi jiwa dan kesehatan kita di masa pensiun nanti, cadangan dana tak terduga yang terus menerus ingin kita tambahi?

Sementara kita masih bisa berteduh di dalam rumah (bisa rumah sendiri, bisa yang masih ngontrak seperti saya, hehehe...) yang nyaman, kita sibuk memikirkan jauh ke depan tentang investasi apa yang perlu untuk mengamankan dan menyamankan diri lebih lagi. Kita lupa, nun jauh di sana banyak saudara-saudara kita yang tak punya tempat tinggal lagi untuk berteduh dan sekedar membaringkan diri karena digusur dan diusir pergi secara tak manusiawi.

Bagaimana rasa cukup kita bisa dibandingkan dengan Ibu Theresa yang memutuskan hanya punya 2 buah baju. Satu untuk dikenakan, satu lagi dicuci? Seperti apa sebenarnya definisi "cukup" yang kita kehendaki?

Kembali kepada ayat pembuka di atas, Yesus jelas-jelas mengajarkan kepada kita untuk membatasi diri sesuai kapasitas yang mampu kita tanggung pada hari ini. Apa yang mampu kita makan hari ini, cukuplah itu. Apa yang mampu kita kerjakan hari ini, cukuplah itu. Bahkan jika kita marah pada seseorang hari ini, cukupkanlah itu hanya sampai matahari terbenam, artinya, jangan diteruskan sampai esok hari, karena hari esok mempunyai masalahnya sendiri.

Mari kita coba pelajari lagi, selidiki lagi, sampai batas apa rasa cukup kita itu. Dan berbahagialah ketika telah mencapainya. Karena tanpa kendali itu, kita tak pernah tahu, kapan kita akan benar-benar berbahagia.

Salam,

Tidak ada komentar: