Google

Senin, 13 Oktober 2008

IRAMA PADANG GURUN

Salah satu episode yang paling menarik dari buku Sang Alkemis-nya Paulo Coelho adalah detik-detik yang mendebarkan ketika Santiago - tokoh sentral dalam novel sastra ini - memutuskan untuk menapaki padang gurun agar dapat tiba di Piramida Mesir, tempat harta dalam mimpinya berada. Menarik, karena para penjelajah gurun adalah orang-orang yang mau tak mau harus siap mati, siap tak bisa kembali lagi ke daerahnya semula. Sekali menginjakkan kaki di padang gurun tak ada jalan untuk undur dan memanjakan keragu-raguan.

Padang gurun adalah sebuah arena untuk melatih keteguhan hati. Bahwa kita semua punya mimpi, itu pasti. Tapi orang-orang yang berhasil, adalah mereka yang berani menindaklanjuti mimpi-mimpinya dengan sebuah TINDAKAN. Dan setelah bertindak, pantang untuk menoleh kembali ke belakang.

Peristiwa eksodus bangsa Israel dari tanah Mesir adalah salah satu peristiwa "padang gurun" juga. Tuhan memang menyediakan padang gurun untuk menempa yang dikasihiNya agar beranjak dewasa. Tidak cuma bisa mimpi. Tapi berani mewujudkan mimpi. Jika di pewayangan ada kawah Candradimuka sebagai media pengujian, padang gurun memiliki fungsi yang kurang lebih sama. Di padang gurun, kita tak lagi punya kemewahan untuk memilih. Terus maju atau mati! Itu tantangannya. Kita tak bisa berdebat tentang suka atau tidak suka. Mau atau tidak mau. Dan nasib kita berjalan sesuai irama padang gurun tersebut. Maksudnya jika kita mampu menyesuaikan diri, kita selamat. Jika tidak ya mati. Itu saja.

Saya pernah membaca sebuah cerpen Ayu Utami di Harian Kompas. Di situ dituliskan bahwa sejak seseorang memutuskan naik pesawat, sejak itu pulalah nyawanya diserahkan kepada sebuah kotak yang disebut black box. Ya, penumpang pesawat mirip dengan penjelajah padang gurun. Ia harus terus di sana sampai tiba di tempat yang dituju. Akan mendarat dengan selamat atau tidaknya, itu benar-benar misteri.

Kadangkala dalam hidup ini kita pun diperhadapkan pada misteri "padang gurun". Kembali ke belakang tak lagi memungkinkan, tapi berjalan terus maju pun terasa amat menggentarkan. Kita tahu tak mungkin kembali menjadi anak-anak yang banyak dibantu, dimanja dan dipermudah jalannya. Tapi menapaki kedewasaan pun kita merasa belum siap dan enggan. Dulu semasa kecil kita berangan-angan segera menjadi dewasa. Setelah dewasa, kita baru tahu bahwa pencapaian itu tidak mudah. Semua butuh perjuangan.

Kondisi yang saya alami saat ini juga tidak jauh dari efek padang gurun. Penuh misteri, mendebarkan dan menegangkan. Saya baru bisa merasakan apa yang dirasakan bangsa Israel sewaktu keluar dari tanah Mesir yang penuh kemapanan, diganti dengan kebergantungan total pada Tuhan yang tak kelihatan. Ada kalanya saya tergoda untuk bereaksi seperti mereka. Ingin kembali ke kehidupan yang lama, tak tahan dengan penundaan yang sebentar saja. Tak tahan berada dalam ketidakpastian. Kadang mengeluh, kadang bersungut-sungut, mengomel, penuh ketidakpercayaan pada Tuhan.

Kadang saya berpikir, alangkah panjang sabarnya Tuhan kita itu. Beribu-ribu tahun sudah Ia menghadapi manusia yang sama jenisnya seperti saya ini. Tidak tahu berterimakasih dan berjiwa kerdil (tak mau tumbuh dewasa dan berkembang, karena berkembang itu sakit). Tapi Tuhan memiliki mata yang tak kita miliki. Ia yang tahu persis bagaimana kita seharusnya menjadi. Untuk itulah manusia-manusia manja semacam saya ini diberiNya pelatihan. Agar kita berkembang sebagaimana mestinya.

Salah satu rahasia sukses menempuh padang gurun adalah mengikuti iramanya. Jangan melawan arah angin. Jangan menolak apa yang harus terjadi. Hadapi saja. Terima saja, apapun yang baik dan buruk yang terjadi pada kita. Karena hanya melalui kedua cara itu sajalah kita bisa tiba di seberang dengan selamat.

Siapa berani mencoba?

Tidak ada komentar: