Seorang sahabat terbujur di rumah sakit sejak seminggu belakangan ini. Ia terserang stroke. Sebelah tubuhnya sulit digerakkan. Dan sebagai penunjang tubuhnya untuk sementara waktu, ia harus menggunakan kursi roda.
Untungnya sahabat saya ini masih bisa menyemangati diri sendiri. Setahu saya pasien penderita stroke biasanya memiliki emosi yang kurang stabil, dan perasaannya bisa menjadi sangat sensitif. Mereka seringkali merasa masygul pada diri sendiri dan butuh waktu cukup lama untuk bisa menerima keadaannya yang tak berdaya dan harus bergantung pada orang lain. Sangat menyedihkan.
Hampir sebulan yang lalu, tante saya yang juga pernah terserang stroke akhirnya meninggal dunia setelah lebih dari 3 tahun menjalani masa-masa sulit pasca stroke. Mama yang selama ini merawatnya, juga mengalami masa-masa sulit dan nyaris angkat tangan, karena besarnya beban fisik dan mental yang harus ditanggungnya. Stroke memang bukan hanya membuat si penderita tersiksa, tapi juga orang-orang di sekitarnya yang merawat dan menemani mereka. Penderitaan berkepanjangan, itulah yang seringkali membuat penderita putus asa, kehilangan harga diri dan harapan. Merasa hidup tak ada guna lagi.
Saya rajin menelpon dan mengirimkan sms pada sahabat saya ini untuk membesarkan hatinya. Saya membelikannya An Kung, obat Cina yang sangat bagus untuk pemulihan kondisi penderita stroke. Saya juga berniat menemaninya terapi akupunktur sepulang dia dari rumah sakit nanti. Selain itu ada program meditasi Sen Qi yang mungkin akan dijalaninya juga selain physioterapi di rumah.
Meski demikian saya tak ingin mundur lagi ke belakang, mengungkit-ungkit kesalahannya. Setiap manusia mempunyai shadow-nya sendiri. Pada diri sahabat saya, mungkin ketidakdisplinan hidup sehat yang menjadi shadow-nya. Tahu yang benar, tapi tak mau menjalani. Tahu yang seharusnya, tapi malas melakukan. Apa yang dialaminya adalah akumulasi dari penundaan-penundaan akibat kemalasannya.
Saya pun demikian juga. Dalam 2 bulan terakhir ini saya harus 4 kali bolak-balik ke rumah sakit karena IUD yang salah pasang 8 tahun yang lalu. Keengganan saya untuk kontrol selama ini membuat saya harus menanggung akibatnya. Proses penanganan akhirnya menjadi lebih mahal dan lebih sulit daripada semestinya.
Ketakutan dan kemalasan melahirkan penundaan-penundaan. Penundaan menyebabkan masalah terus mengejar, bahkan dengan efek bola salju, menggelinding makin tebal dan makin besar. Ketika dalam diri mulai tumbuh rasa enggan dalam menghadapi sesuatu, ingatlah bahwa jika tak segera dituntaskan, kelak akan timbul dampak yang lebih merugikan. Karena itu, janganlah menunda. Segera selesaikan masalah sedini mungkin agar tak menjadi batu sandungan pada waktu yang tak diharapkan.
Sahabatku, semoga engkau lekas pulih. Terimakasih untuk pembelajaran yang sangat berharga ini. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari semua pengalaman ini.
Salam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar