Google

Rabu, 07 November 2007

Mengampuni Diri Sendiri

Kata mengampuni erat kaitannya dengan aspek hukum. Entah itu hukum sosial masyarakat, hukum agama, atau hati nurani. Mengampuni berkaitan dengan keadaan salah yang pernah terjadi, yang mungkin bertentangan dengan norma hukum yang berlaku, yang perlu diakui, diluruskan kembali, dan kemudian diperdamaikan.

Dalam prakteknya, orang mungkin bisa mengelabui kebenaran di tingkat hukum masyarakat maupun hukum agama. Kita bisa saja bersikeras untuk tidak mengakui atau berpura-pura tidak peduli meski tahu bahwa kita bersalah. Namun berbeda halnya jika kita harus berhadapan dengan hati nurani. Kita tak dapat menghindar. Meskipun kita mencoba untuk membungkamnya, ia akan terus bersuara. Karena tujuan hati nurani adalah memberitahukan apa yang terbaik bagi kita.

Bahasa apa yang dipergunakan oleh hati nurani untuk memberitahu kita ketika kita melakukan hal yang salah? Biasanya dengan sinyal rasa tidak nyaman atau rasa bersalah di dalam hati kita.

David R.Hawkins, MD, PhD dalam penelitiannya selama 20 tahun mencoba mengukur berbagai level energi manusia dalam berbagai kondisi. Hasilnya disajikan dalam sebuah tabel yang disebut Map of Consciousness. Dalam tabel ini, ditampilkan beberapa jenis kondisi emosi manusia dengan skornya masing-masing. Dengan angka 200 sebagai baseline, Hawkins menunjukkan bahwa yang memiliki skor di atas 200 adalah kondisi emosi yang memberikan efek energi positif. Beberapa di antaranya adalah: pencerahan, kedamaian, sukacita, cinta, berpikir, penerimaan, kemauan dan netralitas.

Sebaliknya, kondisi yang memiliki skor di bawah 200 adalah emosi yang menghasilkan efek negatif. Beberapa di antaranya adalah: perasaan bangga diri, marah, keinginan, takut, kesedihan mendalam, apatis, rasa bersalah dan rasa malu. Untuk lebih detailnya Anda dapat membaca buku laris Becoming a Money Magnet yang ditulis Bapak Adi W. Gunawan.

Dari tabel tersebut nampak bahwa rasa malu dan rasa bersalah adalah dua hal yang paling merusak dan berefek paling negatif terhadap diri (skor paling rendah).

Lantas apa yang harus kita lakukan agar bisa kembali feel good dan tidak terus menerus dihantui perasaan bersalah?

Pertama, biasanya kita akan merasa lebih ringan setelah kita MENGAKUI kesalahan tersebut,. Kemudian MINTA MAAF/MINTA AMPUN kepada pihak yang menjadi korban kesalahan kita. Jika kita sulit minta maaf kepada orang yang bersangkutan, biasanya lewat mengadu kepada Tuhan sebagai perantara merupakan langkah yang efektif pula.

Tapi bagaimana jika yang kita persalahkan adalah Tuhan atau diri kita sendiri? Bagaimana kita bisa mengampuni Tuhan dan diri sendiri? Masa Tuhan diampuni….nggak salah tuh? Nggak terbalik tuh? Memangnya siapa kita dan siapa Tuhan?

Memang kedengarannya janggal dan tak masuk akal. Sedikit kurang ajar malah.
Tapi mungkin tanpa sadar kita pernah protes, berontak bahkan marah kepada Tuhan.

Kapan itu terjadi?

Umumnya ketika penderitaan sedang menghampiri kita.

”Kenapa harus aku Tuhan?”, mungkin protes semacam itu akan meluncur dari mulut kita. "Kenapa aku mengalami hal yang buruk sementara aku meyakini bahwa Tuhan itu baik?"

Mampukah kita bertahan untuk tidak menyalahkan Tuhan ketika kita mengalami penderitaan yang bertubi-tubi?
Mampukah kita menerima bahwa Tuhan adalah tetap baik adanya dengan segala rencana Nya yang tidak kita pahami?
Mampukah kita mengampuni Tuhan ketika akhirnya kita terpaksa marah dan menyalahkanNya?

Mari kita coba masuk ke dalam batin kita lebih jauh lagi.

Jangan-jangan itu semua terjadi karena kesalahan kita sendiri yang sering mengabaikan suaraNya yang berdiam di hati nurani kita. Kita lebih senang mendengarkan suara manusia dibanding mendengarkanNya. Kita lebih mengedepankan suara logika kita, ketimbang suara hati nurani. Kita sering tak menghargai perasaanNya, pendapatNya, pengajaranNya. Namun ketika kita gagal, Tuhanlah yang paling pertama kita salahkan. Bahkan lebih parah lagi, kita tak segera mendekat dan berdamai denganNya, ketika kita terlanjur mengambil keputusan yang salah.

Pengadilan, persidangan, pengakuan, penentuan bersalah atau tidak bersalah, vonis, penghukuman, perdamaian, semua itu berkonotasi hukum. Jadi, jika kita melanggar sesuatu dalam aspek hukum, ada sanksinya meski juga ada solusinya.

Demikian juga perilaku kita terhadap hati nurani sebagai pemegang kedaulatan hukum yang tertinggi, akan menentukan apa yang akan kita dapatkan. Jika kita mau mengakui kesalahan kita, kita mau berdamai dengan hati nurani kita, maka kita pun akan memperoleh kedamaian dan pembebasan dari rasa bersalah. Namun jika kita tetap keras kepala meski sudah tahu bersalah, kita menolak mendengar teguran hati nurani kita, maka rasa bersalah juga akan terus mengejar-ngejar, hati tak kunjung merasa damai, dan jiwa kita tak kunjung tenang dan bahagia.

Dalam masa tranformasi 150 hari yang lalu, itulah yang coba saya lakukan. Mengakui kesalahan saya selama ini yang telah sering menganggap angin lalu suara hati nurani. Berdamai dengan hati nurani, dan mencoba hidup baru bersamanya. Hasilnya? Saya merasa lebih bersih, lebih bebas, lebih damai dan lebih bahagia

Inikah yang dinamakan pertobatan?

Tidak ada komentar: