Ternyata kondisi rileks erat kaitannya dengan keadaan berserah (pasrah).
Keadaan di mana kita dengan rela dan sadar meletakkan semua beban yang menggelayuti jauh-jauh di luar diri kita. Lebih baik lagi ketika kita percayakan beban itu kepada seseorang yang lebih kuat daripada kita, yang kita yakin dan bisa kita andalkan untuk menanggung beban itu.
Katakanlah saya baru tiba di stasiun Gambir dengan barang bawaan lebih dari 25 kg. Tentulah akan terlalu berat jika saya membawanya sendirian. Sesaat kemudian lewatlah portir yang menawarkan saya untuk menggunakan jasanya. Pilihan saya adalah, mempercayakan barang saya kepadanya dan saya bisa melangkah lebih ringan. Atau saya tetap memegang erat-erat barang-barang saya karena saya tidak mempercayai portir tersebut, dengan resiko saya akan tetap membawa beban yang sama, berdiri di tempat yang sama, dan tak bergerak ke mana pun.
Illustrasi di atas sebenarnya menggambarkan hubungan saya dengan Tuhan selama ini. Boleh saja saya mengakui taat beribadah dan hafal ayat-ayat suci, namun itu tidak menjamin bahwa saya percaya pada Tuhan, mempercayaiNya maupun mempercayakan diri saya padaNya.
Ya, beragama itu tidak sama dengan percaya. Kita bisa saja rajin mengikuti dan menjalani ritual keagamaan kita, tapi soal percaya itu hal yang berbeda. Percaya lahir dari hati. Ini bicara soal hubungan, bukan soal tradisi. Dalam tradisi, saya lahir dari Ayah dan Ibu saya yang sepatutnya saya hormati. Tapi apakah saya benar-benar hormat, itu harus datang melalui pengalaman saya bersama mereka dan keluar dari hati saya sendiri, bukan karena sudah seharusnya demikian.
Mengapa saya bilang jangan-jangan saya tidak percaya pada Tuhan? Karena setiap kali masalah datang, respon saya yang pertama adalah selalu berusaha mencari sendiri dulu jalan keluarnya, Tuhan belakangan. Tuhan baru saya hampiri saat keadaan sudah mentok. Saya akui, sulit sekali bagi saya mempercayai orang lain dan mempercayakan diri saya padanya, apalagi kepada Tuhan yang tak kelihatan.
Nah, ketidakmampuan mempercayakan diri inilah yang membuat seseorang menjadi tegang dan tidak bisa rileks, sampai ia benar-benar RELA menyerahkan diri kepada orang lain untuk ditolong. Rela, percaya sepenuhnya adalah kondisi pasrah yang memungkinkan orang mencapai keadaan rileks yang sejati. Mengakui keterbatasan diri, keterbatasan pikiran kita untuk kemudian dengan rendah hati meminta pertolongan kepada orang yang lebih kuat untuk menanggungkan beban kita.
Saat ini saya sedang mengalami keadaan yang sulit secara finansial. Sebagai tenaga lepas (freelance), saya tidak menerima gaji bulanan, melainkan dibayar jika mendapat proyek. Nah, dalam 3 bulan terakhir, seiring hadirnya bulan puasa, libur Idul Fitri dan berikutnya liburan Natal, mengimbas pula pada produk/jasa yang saya jual. Inilah masa kritis bagi saya yang sedang dalam masa transisi menjadi pekerja mandiri. Di saat-saat sepi order seperti ini, saya mulai kuatir dan mempertanyakan masa depan saya. Apakah saya masih bisa menghidupi keluarga di hari-hari mendatang? Apakah Tuhan masih berkenan memberikan proyek-proyek baru kepada saya?
Saya sempat menjerit, bukankah saya sudah melakukan pekerjaan saya sebaik-baiknya? Juga dengan senang hati dan gembira? Tapi mengapa tuaian dari apa yang telah saya taburkan belum terlihat wujudnya? Saya berpikir dan terus berpikir, apa lagi yang bisa saya lakukan dan usahakan. Apa lagi?
Namun pagi ini tiba-tiba terbersit sebuah jawaban.
Lakukan saja bagianmu, dan jangan pikirkan bagian Tuhan!
Ibarat bekerja dalam sebuah tim, ketika sudah dibagi tugas masing-masing, maka setiap anggota tim tidak berhak intervensi pada tugas yang menjadi bagian rekannya. Harus ada saling percaya bahwa satu sama lain akan melakukan tugas dan kewajibannya masing-masing dengan sebaik-baiknya. Kecuali jika ada yang merasa butuh bantuan, rekan lain yang merasa bisa membantu silakan turun tangan. Bagi yang dibantu, harus rela jika pekerjaan yang menjadi bagiannya terpaksa mengalami penyesuaian-penyesuaian yang mungkin tidak sesuai dengan keinginannya. Namanya juga dibantu, artinya memiliki keterbatasan, jadi tidak bisa dengan semena-mena mengatur yang mereka yang sudah menyediakan diri untuk membantu, atau ngotot semaunya sendiri. Di dalam tim, ada kebersamaan, ada saling menyesuaikan, ada saling merendahkan hati.
Nah, ternyata rileks yang sejati baru bisa muncul ketika kita memiliki kerendahan hati untuk mau menerima pertolongan yang lain. Ketika kita mau meletakkan beban kita kepada tangan yang lebih kuat dan mempercayakan diri kita kepadanya. Lakukan saja apa yang mampu kita lakukan dengan sebaik-baiknya. Selebihnya itu adalah bagian Tuhan yang bekerja dengan caraNya yang tak kita pahami, namun yang mestinya kita percayai akan selalu membawa kebaikan bagi kita. Amin.
2 komentar:
Ketika menghadapai permasalahan, yang harus kita lakukan bukan nya untuk turun tangan, tetapi Tuhan mau untuk kita yang angkat tangan (berserah) dan mempercayakan seluruhnya kepada Tuhan.
"Ketika kita turun tangan Tuhan angkat tangan, tetapi ketika kita angkat tangan, Tuhan yang turun tangan mengatasi masalah kita"
90 % kehidupan kita ditentukan oleh respon atau sikap hati tindakan kita terhadap apa yang datang ke dalam hidup kita dan 10 % dari tindakan kita.
jadi, saya pun hari-hari ini belajar juga untuk punya sikap hati yang benar dalam menghadapi masalah apa pun.
GBU, salam kenal.
Terimakasih bung Priyo,
Salam kenal juga ...:-).
Sering-sering mampir, yach? GBU, too.
Posting Komentar