Google

Kamis, 16 Agustus 2007

Belajar dari Mama

Dua hari yang lalu mama saya yang tercinta datang dari kampungnya, Wonosobo. Seperti layaknya ibu-ibu jaman dulu, tak lupa ia membawa oleh-oleh yang beratnya bahkan melebihi tas pakaiannya. Katanya karena saking cintanya kepada anak, menantu dan cucunya.

Ah, jadi terharu saya.

Padahal mama saya ini sudah 73 tahun usianya. Meski masih perkasa, tetapi membawa beban seberat itu tentulah bukan pekerjaan yang ringan. Mama memang sempat berujar, kok saya jadi ngrepotin diri sendiri? Tapi saya yakin, bukan maksudnya menyesali semua itu. Saya tahu semua itu dilakukannya karena hatinya penuh cinta. Thanks mam!

Bicara tentang mama, terus terang beliau bukanlah tokoh favorit saya dalam hidup ini. Bahkan hampir separuh lebih dari hidup saya (dan mungkin juga hidupnya?) kami habiskan dalam saling tidak memahami satu sama lain. Mama dan saya sangat sering bertengkar, berselisih paham, bahkan saling menyakiti perasaan sesamanya. Kata orang karena karakter kami mirip. Ya, saya akui kami memang sama-sama keras.

Padahal jika dipikir-pikir, apa yang kurang dari mama? Beliau figur ibu yang sangat ideal. Semua tugas dan kewajibannya dilaksanakan dengan rapi, tekun dan disiplin. Mulai dari mengurus rumah supaya selalu rapi, indah dan bersih; mengurus suami dan anak-anak supaya tidak terlantar. Makanan yang selalu tersaji di meja tepat waktu dengan menu berganti supaya kami tidak bosan, dst.

Mama juga wanita yang terampil dalam segala hal. Mulai dari merangkai bunga, menjahit baju, memasak, hingga pekerjaan maskulin seperti bertukang dan mereparasi alat-alat elektronik.
Mama memang seorang pembelajar, selain ia juga seorang guru. Sebelum menikah dengan papa, mama dulunya seorang guru. Karena itu mama sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya.

Saya masih ingat, semasa SD pernah ada pelajaran IPS yang mengharuskan kami menghafal peta Indonesia. Di situ mama menyempatkan diri untuk menjiplak peta di buku (masa itu gambar peta Indonesia belum banyak dijual seperti sekarang) ke karton manila yang besar. Kemudian gambar tersebut digantungkan di dinding dan kami diajar cara menghafal nama-nama kota setiap daerah, sampai ngelotok lengkap dengan hasil buminya segala. Amboi, segitu perhatiannya! Itu baru salah satu contoh bagaimana mama mengajar kami.

Hebatnya mama bukan hanya mengajar secara teori. Tanpa saya sadari, sebetulnya ia banyak mengajar melalui cara hidupnya sendiri. Salah satu contohnya, dalam soal berbelanja.

Dulu semasa kecil, saya sering diminta menemani mama berbelanja ke pasar tradisional. Kami berangkat dari rumah dengan beca, kadang-kadang di siang hari saat matahari sedang terik-teriknya. Tiba di pasar dengan jalanan yang becek dan aromanya yang khas, saya menyaksikan mama dengan tanpa mengeluh terus menyusuri kios demi kios untuk membeli barang-barang belanjaan. Salah satu kebiasaannya adalah, ia pergi ke kios langganannya. Kemudian menyerahkan daftar belanjaan kepada pemilik kios agar mereka menyiapkan apa yang dibutuhkannya. Sementara itu mama akan pergi ke kios berikutnya untuk membeli belanjaan yang lain lagi. Nanti saat kembali ke kios yang pertama, semua barang sudah siap untuk dibawa pulang. Dulu saya tak mengerti, kenapa mama melakukan hal itu. Bahkan tak jarang sampai cukup lama saya dibiarkannya menunggu di kios pertama. Sekarang baru saya tahu, bahwa dengan cara itu secara tak langsung mama telah menerapkan time management agar semua itu berlangsung dengan efektif dan efisien.

Pelajaran lain yang saya petik dari soal belanja ini adalah bahwa ternyata butuh kesediaan dan kerelaan yang besar untuk seseorang mau berpeluh dan bersusah payah membawa belanjaan. Saya masih ingat saat membawa belanjaan yang berat ke luar pasar yang lumayan juga jarak tempuhnya bagi seorang anak kecil seumur saya. Meskipun demikian, saya tak pernah melihat mama bersungut atau mengeluh. Mama selalu terlihat bahagia dan menikmati hidupnya.

Memang dalam hal memotivasi diri mama adalah jagonya. Ia seorang motivator yang hebat. Maka tak heran, selalu ada tempat untuk meletakkan kepala ketika kami anak-anaknya kehilangan semangat. Selalu ada telinga untuk mendengarkan kami mengadu. Selalu ada hati untuk tempat mencurahkan isi kalbu. Selalu ada doa di saat kami membutuhkannya. Dan juga air mata berbagi rasa saat kami sedang dalam duka cita. Cinta mama kepada kami lah yang membuat kami anak-anaknya selalu bangkit kembali. Karena kami sadar, bahwa ada seseorang yang senantiasa membuka tangan dan hatinya untuk menerima kami kembali, sebesar apapun kekeliruan yang telah kami lakukan.

Mungkin Anda bertanya, bagaimana mungkin seorang Ibu yang sedemikian sempurna bisa membuat saya tak mengidolakannya?

Ya, karena selama ini saya tak mampu melihatnya dengan hati yang bersyukur atau hati yang penuh cinta. Sejak kecil saya selalu merasa mama tak memahami saya. Mama selalu tak sepaham dengan jalan atau cara yang ingin saya tempuh. Saya selalu merasa mama over dominant dalam mengatur hidup saya. Padahal saya ini seniman. Saya butuh berekspresi. Dan ini yang sulit diterima oleh mama saya yang well organized. Ketidaksepahaman yang semula kecil, perlahan berkobar menjadi pemberontakan. Dan entah sejak kapan kami seperti bermusuhan. Padahal bukan itu maksud saya. Saya hanya menginginkan jalan saya sendiri, that’s all.

Baru 3 tahun belakangan ini, saya melihat mama dengan mata berbeda, bermula dari ketika rumah tangga saya dilanda masalah yang cukup berat. Di situlah saya merasakan kasih mama yang benar-benar tulus. Mama tak banyak komentar, tapi saya merasakan dukungan doanya. Saya merasa dikuatkan dan seperti ada teman yang mendampingi meski di kejauhan. Tak dibiarkannya saya sendirian menanggung duka, meski itu karena pilihan saya sendiri (sebagaimana yang selalu saya inginkan). Mama tak mencela. Mama tak mengkritik, juga tak menyalahkan, meskipun secara pandangan dan keinginan kami jelas berbeda. Tapi ternyata cara itu justru membuat hati saya yang keras selama bertahun-tahun luluh seketika.

Ya, mama berubah. Saya pun berubah. Hubungan kami berubah. Cinta kami berubah. Kami tak lagi saling menuntut melainkan saling menerima satu sama lain dengan apa adanya.

Anda percaya, bahwa sejak 3 tahun yang lalu salah satu cita-cita saya adalah untuk membahagiakan mama di sisa hidupnya? Itulah komitmen saya terhadap diri sendiri. Mungkin mama tak tahu hal ini dan mungkin tak perlu tahu. Tapi yang jelas saya ingin dia tahu, bahwa dari dialah saya belajar cinta kasih yang sesungguhnya.

I love you, mam... with all my heart.

2 komentar:

rachel p. a. c. mengatakan...

tante.. ini tia..

emang emak kita itu perkasa banget ya.. huahaha

Ester S.Devi mengatakan...

Halo Tia...,

Akhirnya kau berkunjung juga ya ke blog-kyu? kekekekkkk...., makasih ya?
Ntar akyu gantian main ke blog-mu ya? Deee....