Tas berbahan limbah plastik buatan Bu Kasmi di Ciputat, Tangerang, Banten. |
Berkat sampah, Kasmi (52) dan Ida Suwardiah (48) bisa memberdayakan orang lain di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka.
Kasmi membangun usaha kecil-kecilan sejak tahun 1988. Awalnya, dia memproduksi boneka. Dua tahun kemudian, Kasmi membuat tas berbahan sampah plastik.
Kasmi menceritakan, dia membuka usaha ini untuk anak bungsunya, Trimayningsih, yang tunarungu. ”Saya ingin anak saya bisa mandiri dan punya banyak teman,” kata Kasmi, Rabu (21/1), di rumah merangkap tempat usahanya di Pisangan Baru, Ciputat, Tangerang, Banten.
Setelah usahanya berjalan, Kasmi melatih sejumlah anak tunarungu membuat tas berbahan sampah. Sebagian di antara mereka bekerja di rumah Kasmi, sebagian lagi membuka usaha sendiri.
Belakangan Kasmi juga mempekerjakan ibu-ibu miskin di lingkungan sekitarnya. ”Saya terenyuh melihat kehidupan mereka. Setelah bekerja di sini, alhamdulillah kehidupannya membaik,” kata Kasmi yang punya usaha lain dan toko.
Kini, roda usaha Kasmi benar-benar telah berputar. Secara berkala, kelompok pemulung dari Cipayung, Legoso, Cireundeu, dan Pondok Cabe menyetor plastik bekas bungkus kopi dan pengharum pakaian. Bahan-bahan ini lantas disulap menjadi tas cantik oleh 14 remaja tunarungu dan beberapa ibu miskin yang bekerja bersama Kasmi.
Produk Kasmi dijual di sejumlah hotel berbintang di Jakarta dan toko swalayan mewah dengan harga mulai dari puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Produk itu juga dicari konsumen dari Dubai, Singapura, Amerika Serikat, dan Australia. Omzet sebulan antara Rp 20 juta-Rp 40 juta.
Kasmi tidak memasang merek. Dia hanya membubuhkan kertas bertuliskan keterangan dalam bahasa Inggris bahwa produknya dibuat para tunarungu.
Ida Suwardiah, Ketua Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) RW 04 Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta Utara, melakukan hal serupa. Ida menggerakkan ibu-ibu di sekitar lingkungan rumahnya untuk memproduksi tas dari kemasan bekas minuman instan sejak bulan Juni tahun 2007 lalu.
Semula ada 10 ibu yang ikut dalam kegiatan produktif itu, tetapi kini tinggal lima orang yang benar-benar aktif memproduksi tas seharga Rp 20.000-Rp 40.000 itu.
Untuk mendapatkan sampah kemasan bekas, Ida bersama rekan-rekannya menggalang tetangga di sekitar rumah mereka agar mau mengumpulkan sampah bekas kopi atau minuman instan. Ida dan teman-teman membeli sampah itu Rp 2.000 per kilogram.
Kegiatan yang dilakukan para ibu ini jelas bukan sekadar mengisi waktu luang. Kegiatan ini menumbuhkan kesadaran lingkungan dan membuka wawasan tentang nilai ekonomis sampah. Dari kegiatan itu pula, para ibu PKK ini lebih mandiri dalam hal keuangan.
Rolimah (40), yang juga anggota kelompok itu, sekarang merasa lebih merdeka untuk membelanjakan uang yang ia kumpulkan sendiri. ”Dulu, kalau mau jajan saja, saya minta suami. Kalau uang belanja habis, saya suka diomelin. Sekarang untuk membeli kebutuhan pribadi saya sudah bisa pakai uang sendiri,” tutur Rolimah. (budi suwarna/ lusiana indriasari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar