Google

Senin, 15 Desember 2008

BELAJAR MENDENGARKAN

Baru saya sadari bahwa ternyata kegiatan "mendengarkan" itu tidak mudah.

Sudah lama saya diberitahu bahwa antara "mendengar" dan "mendengarkan" itu ada beda yang cukup signifikan. Dan hari ini saya belajar, bahwa proses mendengarkan pun ada bermacam-macam.

Ada orang yang setelah mendengarkan langsung menimpali, menganggap si pencerita sedang butuh solusi.
Ada juga yang bahkan malah menghakimi. Mengoreksi sana sini yang mungkin perlu dibenahi.
Ada yang mendengarkan dengan empati, tapi setelah itu malah terhanyut sendiri.
Ada yang mendengarkan sambil sibuk menganalisa dan mengamati, pelajaran apa yang kira-kira bisa diambil dari topik yang barusan didengarnya tadi.
Semua itu adalah jenis-jenis mendengarkan dari kacamata sendiri alias dari sudut pandang si pendengar, mengambil manfaatnya untuk kepentingan pendengar, atau bahkan untuk memuaskan ego si pendengar.

Saya akui, saya jarang bisa mendengarkan orang lain dengan tepat. Tepat cara, tepat persepsi, maupun tepat respon. Meski wajah dan telinga saya ada di situ, tapi mungkin pikiran dan hati saya tidak sedang berada di posisi di pencerita, melainkan pada diri saya sendiri. Yang paling sering saya lakukan adalah mencoba berempati, meletakkan posisi saya pada posisinya dan mencoba merasakan apa yang dia rasakan. Tapi mungkin karena saya tipe orang yang selalu ingin menarik sebuah pelajaran dari sebuah peristiwa, selama mendengarkan saya sibuk mencari benang merah dari apa yang disampaikan si pencerita, dan bukan benar-benar hanya mendengarkan saja. Padahal mungkin orang lain justru membutuhkan yang terakhir, seorang pendengar yang benar-benar hanya mendengarkan saja. Titik.

Mirip dengan kegiatan mengamati yang pernah saya tuliskan pada postingan sebelumnya, kita perlu belajar (hanya) mengamati saja, tanpa apriori, tanpa prasangka, tanpa menganalisa. Mungkin hal serupa perlu kita terapkan dalam hal mendengarkan ini.

Kenapa mendengarkan jadi penting untuk dibahas?
Yang pertama, untuk mengurangi kemungkinan konflik.
Yang kedua, untuk menolong memberi kelegaan kepada si pencerita.
Yang ketiga dan seterusnya, tolong cari sendiri, hehehe...

Untuk yang pertama, seringkali ketidakmampuan kita untuk mendengarkan orang lain menjadi sumber pemicu konflik. Ketika menyaksikan acara debat yang ditayangkan di TV, saya lebih suka tidak mendengarkannya, karena acara tersebut saya anggap lebih banyak mengeksploitasi adu kata-kata dan pendapat yang seringkali bukannya membantu mencerdaskan pendengar, malah sibuk memperluas ego peserta masing-masing. Nggak asyik ahh... Tapi jika forum memang dihadirkan untuk saling menginspirasi, biasanya setelah acara tersebut berakhir, ada tersisa suatu kesan yang bisa dipetik oleh pendengar. Dan itu lebih bermanfaat saya kira.

Mendengarkan yang dapat mengurangi kemungkinan konflik adalah ketika kita bersedia meluangkan waktu dan energi kita benar-benar untuk orang yang kita dengarkan. Terlibat secara aktif dalam bahasa tubuh maupun kata-kata dukungan (sekalipun belum tentu si pencerita ada pada posisi yang benar dalam kasusnya. Itu bukan tujuan kita untuk menganalisanya). Kita tidak menyerang dan menghakimi kesalahannya, melainkan kita benar-benar memposisikan diri sebagai si pencerita, yang notabene pasti menganggap dirinya benar. Dengan cara seperti ini kita bisa mengurangi konflik di awal.
Dengarkan saja dulu, berikan dukungan sebesar-besarnya apapun yang dilakukan oleh si pencerita dalam kasusnya, baru boleh berkomentar (itu pun kalau dirasa perlu).
Kesalahan yang selama ini saya lakukan adalah tidak sabar untuk menegur jika saya merasa ada kekeliruan yang perlu diluruskan dalam kasus si pencerita. Padahal tujuan mendengarkan adalah justru untuk mengajar kita sabar menerima kesalahan orang lain apa pun dan sebesar apapun masalahnya.

Yang kedua, untuk menolong memberi kelegaan kepada si pencerita.
Apapun masalahnya, terlepas dari benar atau salah, ketika kita mendengarkan orang lain, kita telah berbuat baik. Setiap kita adalah pribadi yang butuh didengarkan, butuh didukung, butuh dibesarkan hatinya. Ketika kita mau memberi diri untuk menutupi kebutuhan orang lain, kita sudah berbuat baik. Bukan hanya si pencerita yang memperoleh kelegaan, kita pun memperoleh berkah dan manfaat tersendiri. Karena setiap proses mendengarkan, sekali pun menuntut kesediaan kita untuk menyisihkan waktu kita, akan memperoleh imbalannya dalam bentuk lain. Jadi, jangan pernah segan mendengarkan orang lain. Jangan pernah merasa membuang waktu dengan sia-sia ketika mendengarkan orang lain, karena Tuhan senantiasa melihat dan memperhitungkan setiap perbuatan baik yang kita lakukan.

Semoga bermanfaat. Selamat belajar mendengarkan.

Salam,

Tidak ada komentar: