Google

Selasa, 23 Oktober 2007

PIKIRAN & PERASAAN

Kita adalah apa yang kita pikirkan.

Ingin menjadi seperti apa kita, dimulai dari pikiran kita.
Dan bagaimana kita berpikir ditentukan oleh pengalaman yang kita rekam dan kita izinkan untuk mengendap di bawah sadar kita.
Dan pengalaman yang kita pilih, biasanya adalah yang memiliki nilai emosi tinggi, baik emosi negatif maupun positif.

Contohnya: saya selalu berpikir bahwa saya orang yang bodoh dalam hal matematika. Mengapa?
Karena "pengalaman" menunjukkan demikian.
Perhatikan, "pengalaman" yang saya maksudkan di sini mungkin bukan fakta yang sebenarnya, tapi telah saya izinkan untuk saya rekam dari berbagai peristiwa sebagai kenyataan bahwa saya lemah di bidang matematika. Yang saya ingat adalah bagaimana mama terpaksa harus menjelaskan berulang-ulang cara berhitung kepada saya saat saya masih SD. Bagaimana tante saya mengoreksi hitungan saya yang salah, dst, sampai wajah guru matematika saya di SMA yang membosankan, juga nilai C untuk matematika semasa kuliah.
Kebetulan karena saya bertipe visual-kinestetik, maka "pengalaman" dengan sentuhan emosi negatif tersebut terekam dengan mulusnya di otak saya. Setiap kali membayangkan matematika atau angka, maka yang terbayang adalah kegagalan. Ini terjadi berulang-ulang baik saat test masuk perguruan tinggi, saat ujian matematika, saat mengerjakan psikotes untuk melamar pekerjaan, dsb.
Tanpa saya sadari, saya telah mencipta, membentuk dan meyakini bahwa diri saya adalah orang yang tidak bisa matematika (angka) dan tidak suka angka. Saya menjadi gugup dan porak poranda ketika harus berargumentasi dengan orang lain soal angka.

Nah, jadi ketika ingin mengubah suatu karakter atau stigma negatif yang sudah terlanjur melekat pada diri kita, caranya kurang lebih sama.

Kita harus mulai dari pengalaman dengan emosi. Tapi kali ini dengan emosi positif.
Mungkin awalnya agak sulit, karena kita sudah terbiasa cepat merespon pengalaman negatif, akibatnya kurang sensitif terhadap pengalaman positif. Meski demikian, tetaplah mencoba.
Jika perlu, sediakan waktu dan lakukan persiapan khusus untuk memancing pengalaman positif tersebut.

Contohnya yang saya alami sewaktu liburan Idul Fitri baru-baru ini.
Biasanya jika tidak mudik, saya memilih di rumah saja, namun tanpa rencana apapun. Bahkan bayangan saya tentang liburan itu saja sudah negatif. Pembantu pulang, saya repot.

Tapi liburan kali ini, saya ingin mengubah persepsi itu. Jauh-jauh hari saya sudah bayangkan betapa enaknya jika tak ada pembantu. Kami sekeluarga bisa lebih santai, mau bangun siang, mau makan jam berapa, tidur jam berapa nggak jadi soal. Yang penting happy. Selain itu, saya sudah buat daftar, kira-kira apa saja yang mau saya kerjakan selama liburan. Setiap hari saya tambahkan satu dua kegiatan yang tiba-tiba terpikir untuk dilakukan.

Sampai akhirnya, tibalah liburan yang ditunggu-tunggu. Saya pun melakukan APA YANG SUDAH SAYA BAYANGKAN SEBELUMNYA. Dan saya bahagia banget. Inilah liburan yang benar-benar menyenangkan yang pernah saya alami. Yang saya jalani dengan penuh kesadaran, bukan asal lewat saja seperti biasanya.

Menurut buku Piece of Mind dan The Secret yang saya baca selama liburan, pengalaman positif seperti ini jangan dibiarkan cepat berlalu. Nikmatilah berlama-lama setiap jengkal rasanya. Kebahagiaannya, kepuasannya, kegembiraannya, dst. Resapkan ke subconscious mind kita pengalaman berharga ini. Lebih baik lagi, seperti yang saya lakukan selama 10 hari berturut-turut pengalaman positif tersebut berulang-ulang terjadi (meskipun dalam peristiwa yang berbeda).

Pengalaman positif yang mengendap di pikiran bawah sadar kita tersebut, nantinya akan memandu kita untuk berpikir positif ketika kita menggunakan pikiran sadar kita. Juga akan menyeleksi pengalaman negatif yang akan masuk setelah itu. Semakin banyak pengalaman positif yang kita rekam, semakin besar kemungkinan cara kita berpikir berubah menjadi lebih positif.

Pikiran (cara kita berpikir dan apa yang kita pikir) memang sangat menentukan perubahan yang kita rencanakan. Perubahan dimulai dari cara kita berpikir. Tapi jangan lupa bahwa bahasa perasaan atau emosi kitalah yang terbaca oleh subconscious mind kita. Jadi perbaiki dulu yang keliru di tingkat perasaan. Yang belum damai didamaikan. Yang belum release ya diikhlaskan. Jika sudah tak ada yang mengganjal lagi, baru apa yang kita tanamkan di pikiran sadar bisa masuk dan bekerja.

Mengapa saya bisa berpendapat demikian?
Karena dulu, meskipun saya rajin dan hafal ayat-ayat kitab suci, senang membaca buku-buku spiritual dan beraliran positif lainnya, tapi apa yang saya tanamkan tidak bisa bekerja maksimal karena hati saya masih penuh dendam, kebencian, kemarahan dan kepahitan. Baru ketika akhirnya saya setuju berdamai dengan diri sendiri, menerima, mengampuni diri sendiri dan orang lain, penyakit-penyakit emosional tersebut lenyap, dan apa yang pernah saya serap dari bacaan-bacaan tersebut dengan mudah menjadi mutiara dalam diri saya.

Ada 3 cara untuk mengatasi problem emosional seperti yang saya alami di atas:
1. Mengenal diri sendiri
2. Menerima diri sendiri
3. Mengampuni diri sendiri
Baru kemudian, lakukan hal yang sama untuk orang lain.

Sekian dulu postingan hari ini. Semoga bermanfaat.

Salam,

Tidak ada komentar: