Google

Kamis, 25 Oktober 2007

MENERIMA DIRI SENDIRI

Setelah belajar mengenal diri, kita lanjut ke tahap berikutnya, yaitu menerima diri sendiri.

Sebagian orang (termasuk saya) ternyata memerlukan waktu ekstra untuk bisa menerima diri sendiri. Lho, apa sulitnya sih menerima diri sendiri? Dan kenapa jadi sulit?

Ini beberapa kasus yang sempat tercatat oleh saya:
  1. Penolakan yang dialami semasa kecil
  2. Pengalaman ditolak/dikucilkan dari kelompok yang terjadi berulang-ulang
  3. Keserakahan (menginginkan status, posisi, nasib orang lain)
  4. Kesombongan (tidak mau menerima kelemahan diri)

Jika ada mau menambahkan, silahkan. Tapi saya coba membahas 4 yang di atas dulu ya?

Jangan pernah abaikan pengalaman masa kecil, bahkan yang tanpa kita ketahui pernah terjadi semasa masih berupa janin dalam rahim ibunda.

Apakah itu mereka yang dulunya pernah akan digugurkan, yang kelahirannya tak diinginkan, atau yang diinginkan lahir dengan jenis kelamin tertentu, yang lahir dan besar dalam keluarga broken home, orangtua yang bercerai, dst hampir sebagian besar pernah mengalami "rasa tertolak" yang mungkin bisa berlanjut hingga dewasa, bahkan tanpa mereka pernah menyadari, kenapa dan darimana mereka mempunyai perasaan tersebut. Seolah-olah itu memang sudah menjadi bagian dari diri mereka. "Rasa tertolak" ini bisa sangat mengganggu kecerdasan emosional pemiliknya. Mereka menjadi peragu, pemurung, cenderung menarik diri dari pergaulan. minder, merasa ada yang kurang, tidak PD, dll.
Bahkan sekalipun mereka memiliki prestasi yang menjulang, multi talenta, namun di lubuk hati yang terdalam, prestasi tertinggi yang mereka dambakan sebenarnya adalah penerimaan tanpa syarat, pertemanan yang sejati, persaudaraan yang abadi. Kebutuhan untuk diterima dan dicintai lebih besar artinya daripada pengakuan akan prestasi mereka. Bagi yang belum menyadari, mereka bisanya justru menggunakan jalan prestasi untuk bisa diterima. Bagaimanapun, kebutuhan untuk diterimalah yang menjadi prioritas utama.

Pengalaman ditolak/dikucilkan, biasanya terjadi di lingkungan yang rasis. Dampaknya lebih terasa bagi mereka yang perasa. Sedikit kasak-kusuk, cekikikan teman yang tidak melibatkan mereka, menjadi isu penolakan yang terbawa hingga dewasa. Jika ini diizinkan untuk terekam ulang ke pikiran bawah sadar kita, maka kita akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri, terlalu sensitif dan selalu dipenuhi rasa curiga.

Keserakahan atau kemarukan adalah bentuk lain tidak bisa menerima diri. Tidak puas terhadap diri sendiri. Ingin jadi seperti orang lain. Selalu iri melihat orang lain lebih baik dan lebih beruntung. Menginginkan nasib baik orang lain jatuh kepadanya, ingin menggeser posisi orang lain yang lebih tinggi, dst.

Ketidakmampuan untuk menerima diri sendiri bisa jadi juga berasal dari sisi kesombongan kita. Kita cenderung ingin melihat yang baik-baik saja dari diri kita, tapi sulit menerima kelemahan diri. Sulit dikritik. Selalu ingin dipuji. Kita lupa bahwa setiap manusia punya kelebihan tapi juga ada kekurangannya.

Nah, beberapa hal yang saya sebutkan di atas, jika tidak segera diselesaikan tidak akan segera membawa kita kepada perubahan yang kita inginkan. Kita perlu belajar jujur pada diri sendiri. Kita perlu rendah hati mengakui kelemahan kita. Tapi kita juga harus bersyukur dengan talenta yang kita miliki dan mengembangkannya semaksimal mungkin. Jangan malahan kita lebih ngotot mengembangkan talenta orang lain yang kita inginkan bisa kita miliki. Banggalah dengan apa yang ada pada diri kita, meskipun kelihatan "berbeda" dari rekan-rekan kita. Jangan takut menjadi "berbeda" dan jangan merendah-rendahkan diri hanya agar dapat dianggap sama dan diterima oleh komunitas atau kelompok yang kita kagumi.

Nampaknya ini serupa dengan saat pencarian jati diri di masa pubertas ya? Tapi percaya nggak percaya itu terus berlanjut ke masa dewasa jika kita tak segera menyelesaikannya lho.

OK, sekian dulu postingan saya hari ini. Semoga bermanfaat.

Salam,

Tidak ada komentar: