Google

Selasa, 21 Agustus 2007

Perempuan-perempuan Luar Biasa

Kemarin sepulang kerja, saya berkesempatan ngobrol dengan pekerja rumah tangga saya yang baru. Dia seorang ibu dari 4 anak yang semuanya masih dalam usia sekolah. Suaminya jobless, walaupun kadang-kadang memperoleh penghasilan juga dari ojek motornya atau upah mencuci bus di Pulogadung. Jadi bisa dikatakan si mbak N ini adalah tulang punggung keluarga satu-satunya.

Yang menyedihkan adalah, ternyata ia sudah beberapa kali mencoba bunuh diri karena tidak tahan terhadap tekanan ekonomi dan beban moral yang musti disandangnya. Belum lagi memikirkan dari mana biaya untuk hidup dan sekolah bagi ke-4 anaknya, ia juga musti menghadapi kenyataan bahwa suami sering berselingkuh dan main judi. Dan jika ia memperingatkan sang suami dengan cara yang paling halus sekali pun, tak ayal ia akan jadi korban hajaran dari suaminya, bukan hanya tubuh tapi juga wajah. Bahkan yang lebih memalukan lagi, itu dilakukan suaminya di depan umum, di bawah tatapan mata banyak orang yang hanya bisa menonton tanpa mengambil tindakan apapun.

Sambil berkisah dengan mata berkaca-kaca, mbak N mengatakan bahwa ia bertahan dalam hidup pernikahannya supaya anak-anaknya tidak kehilangan figur bapak. Ia hanya berharap, anak-anaknya dapat terus bersekolah, dan menjadi "orang", tak peduli berapa berat biaya yang musti ditanggungnya.

Cerita semacam ini bukan satu dua kali saya dengar langsung dari orang-orang semacam mbak N. Pengasuh anak saya yang pertama juga memiliki pengalaman yang mirip. Dan setelah hampir 6 tahun sejak ia berpisah dengan kami, ia menelpon saya dan mengabarkan bahwa akhirnya ia bercerai dengan suaminya.

Saya juga mendapati bahwa bukan hanya mereka yang berada di level ekonomi menengah ke bawah saja yang mengalaminya. Seorang sahabat di Palembang yang sudah saya anggap saudara sendiri, serta satu klien di daerah Bekasi yang saya kenal lewat telpon juga mengalami hal yang sama. Selain harus berfungsi sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, mereka masih harus menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Mata yang jadi rusak karena sering ditinju, kepala bocor karena disabet kepala ikat pinggang, diusir dari rumah tanpa bekal uang dan pakaian satu lembar pun, juga kekerasan seksual. Jika mereka minta untuk diceraikan, kekerasan yang mereka terima semakin menjadi. Sungguh, bukan satu cerita yang sedap untuk didengar dan dibagikan.

Sementara seorang sahabat di Bali dan satu lagi di Solo bernasib lebih baik, tidak sempat menjadi korban kekerasan, tapi harus jungkir balik mencari nafkah demi suami dan anak-anaknya. Masih banyak sebetulnya orang-orang bernasib serupa yang entah kenapa seperti didatangkan kepada saya, atau saya lihat secara langsung.

Pertanyaan saya: Wahai..., gejala apa ini?
Apa sebenarnya pesan di balik semua yang terjadi ini?

Terus terang saya belum menemukan jawabannya. Namun yang saya lihat adalah sebuah pembelajaran dari perempuan-perempuan luar biasa ini. Mereka dengan tegar terus bertahan terhadap semua penyiksaan dan dengan gigih mencari sesuap nasi demi anak-anak yang mereka cintai.

Mereka sudah harus bangun lebih awal untuk menyiapkan anak-anaknya bersekolah saat sang suami masih tidur mendengkur di peraduannya.
Kemudian bergegas menyiapkan diri memulai hari. Berjuang di jalan raya dan bertarung dengan kesemrawutan lalu lintas yang ada.
Tak jarang tanpa sempat sarapan (karena tak ada lagi makanan yang bisa disantap).
Bekerja keras di tempat kerja masing-masing yang kadang masih diselingi dengan beban emosi yang menguras energi.
Saat matahari terbenam baru tiba di rumah. Seringkali tak bisa langsung mengaso, melainkan masih harus memasak, menyiapkan makan untuk keuarga, mencuci baju dan peralatan dapur, membersihkan rumah dan juga mendampingi anak belajar.

Ke mana para suami?
Mungkin sedang bersantai di depan TV, atau mengasyiki game di depan layar komputer. Mungkin ngobrol sambil ngopi atau main catur dengan tetangga. Dan sesudahnya bisa menghabiskan waktu untuk bermimpi di kasur yang empuk.

Heran?
Tapi itulah fakta!

Sementara para perempuan luar biasa ini nyaris tak pernah berpisah dengan simbah peluh dan air mata. Mereka menangis bukan karena penderitaan mereka sendiri, tapi karena tak tahu anak mereka harus diberi makan apa hari ini. Mereka bingung bukan karena nasib mereka sendiri, tapi karena tak ada ongkos transport untuk berangkat kerja, tak ada uang untuk bayar uang sekolah anak, tak ada beras yang bisa ditanak, tak ada tempat untuk meletakkan kepala apalagi untuk berbagi perasaan yang menyesakkan dada.

Tiap hari mereka harus bertanya, apa yang bisa dimakan hari ini?
Bukan untuk perutku, tapi untuk anakku.

Bahkan kadang mereka bertanya, apakah harapan itu benar ada.
Jika ada, bagaimana cara harapan itu menampilkan dirinya? Kenapa tak segera mewujudnyata di hadapan kami?
Merasa pahit? Rasanya tak guna lagi, karena racun kehidupan sudah jadi makanan sehari-hari. Apa yang perlu dikeluhkan? Apakah dengan mengeluh menyelesaikan persoalan?

Buat para perempuan yang luar biasa ini, yang dengan kepala tegak terus berdiri menantang kehidupan yang menghampiri, sungguh saya tak mampu memberikan support yang berarti selain memberikan hati untuk berempati. Saya sendiri masih berjalan di jalan yang sama, saya belum menemukan jalan keluarnya. Tapi saya yakin, kita akan sama-sama tiba di ujung terowongan dan menemukan secercah sinar yang akan menerangi jalan kita nantinya.

Salam saya untuk para perempuan luar biasa ini.

1 komentar:

Rumpun Tjoet Njak Dien mengatakan...

LSM Rumpun Tjoet Njak Dien adalah lembaga sosial yang bergerak di bidang penguatan, pendampingan dan perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Kunjungi web dan blog kami di www.rtnd.org dan www.rumpuntjoetnjakdien.blogspot.com. Hidup PRT!