Google

Kamis, 27 November 2008

MENYEMANGATI DIRI SENDIRI (2)

Belajar dari orang-orang yang telah lebih dulu berhasil daripada kita, adalah cara lain untuk menyemangati diri sendiri.

Bukan kebetulan jika belakangan ini entrepreneurship gencar diusulkan sebagai langkah alternatif untuk mengatasi berbagai beban kehidupan yang makin menekan. Sampai-sampai Menristek RI Kusmayanto Kadiman, dalam Pesta Blogger 2008 di Gedung BPPT Jakarta, Sabtu 22 November 2008 yang lalu, menganggap perlu dimunculkannya blog-preneur alias blogger yang berjiwa wirausaha (Kompas, 24/11/2008).

Hal senada juga diungkapkan oleh Bob Sadino, seorang entrepreneur kawakan Indonesia, dan Dr.Ir. Wahyu Saidi, MSc - Doktor yang juga pengusaha mie yang sukses dalam forum diskusi "Entrepreneurship Experiencing 2008" di Universitas Indonesia beberapa pekan lalu. Bahkan Bob Sadino memberikan tantangan yang provokatif kepada hadirin bahwa "Siapa saja yang ingin menjadi entrepreneur, keluarlah dari kampus setelah acara ini dan jangan kembali ke sini lagi!". (Kompas, 13/11/2008).

Apa maksudnya? Apakah kita semua tidak perlu bersekolah tinggi untuk dapat menjadi entrepreneur?
Tentu maksudnya bukan itu. Tapi bahwa gelar kesarjanaan tertentu di negeri ini, seringkali bisa menghalangi semangat kita untuk berwirausaha. Saya sendiri sempat mengalaminya, seperti yang diungkapkan Bapak Wahyu Saidi,
"Untuk memulai entrepreneurship, gelar kesarjanaan benar-benar tak berguna, justru sering negatif. Begitu mau menyebar brosur atau nggoreng makanan, ngerasa diri sarjana. Itu bisa jadi awal kegagalan", demikian ujar beliau.

Lagi, menurut pak Wahyu yang telah membuka 410 gerai makanan di 30 kota dan 4 negara ini, ilmu yang didapat di bangku kuliah baru berguna jika bisnis sudah berkembang. Misalnya terkait tuntutan penguasaan manajemen, mekanisme kontrol dan distribusi. Namun, tidak bersekolah juga bukan berarti tidak bisa belajar menguasai ilmu-ilmu ini.

"Kalau mau jadi entrepreneur, mulailah dari sekarang. Jangan berencana mulai setelah lulus kuliah. Apalagi kalau Anda berusaha lulus dengan indeks prestasi tinggi, besar kemungkinan muncul harapan dan iming-iming untuk jadi pegawai", ujar pak Wahyu .

Wah, kata-kata penuh semangat dari 2 pengusaha sukses ini sungguh menyemangati saya. Sejak muda, saya memang tidak berhasrat jadi pegawai. Itu sebabnya, bekerja pada orang lain saya niatkan hanya untuk sementara saja. Untuk mencari pengalaman, mengamalkan ilmu yang saya peroleh di kuliah dan untuk mengumpulkan modal. Dan setelah merasa cukup, saya harus berani memutuskan untuk keluar dari comfort zone tersebut, apapun resikonya.

Berwirausaha melatih kita menjadi berani. Dan itu adalah modal utama dalam hidup ini. Kita juga dilatih sabar, tegar dan tabah dengan adanya berbagai ketidakpastian yang harus kita hadapi setiap kali. Kita dilatih mengalahkan rasa malas, dilatih berpikir dan bertindak taktis dan strategik, serta berjiwa mandiri, tidak selalu mengharap bahkan menuntut pertolongan orang lain melulu. Wirausaha mengajarkan kita hidup dalam arti yang sebenar-benarnya. Kita hidup di alam nyata, ada kerja ada hasilnya. Ada usaha ada pahalanya. Berwirausaha juga membuat hubungan kita dengan Sang Pencipta menjadi lebih dekat. Kita bisa melihat pertolonganNya begitu nyata dalam setiap saat. Kita menjadi lebih mudah bersyukur, serta lebih mudah nrimo jika ada kegagalan menimpa. Tidak cengeng lagi seperti sebelumnya.

Saya bersyukur tengah menjalani sebuah proses yang menghidupkan. Yang mengembalikan jati diri saya sebagai manusia yang terus bergerak dan berubah. Dinamis dan tidak statis. Saya tidak sedang tinggal di air tenang melulu, tapi juga di air yang beriak. Saya menikmati setiap sensasinya sekalipun kadang mendebarkan bahkan mengerikan.

Mudah-mudahan tulisan kali ini bisa menyemangati Anda semua yang tengah berada di titik semangat yang paling rendah. Tuhan menguatkan kita semua. Sampai jumpa pada postingan berikutnya.

Salam,

Jumat, 21 November 2008

MENYEMANGATI DIRI SENDIRI (1)













Waow! Judul postingan hari ini lumayan provokatif ya?

Sebenarnya itu saya tujukan untuk menyemangati diri sendiri.
Pada postingan sebelumnya telah saya tuliskan bahwa saat ini saya sedang menjalani masa-masa awal dalam berwirausaha. Saya akui, beberapa kali nyaris ingin kembali saja ke masa-masa jaya dulu sebagai pegawai... :-), karena hati terasa ciut memikirkan apakah mungkin usaha yang tengah saya jalani ini bisa bertahan bahkan berkembang.

Menyemangati diri sendiri adalah sebuah aktivitas yang sangat dibutuhkan saat kita sedang merasa kecil, tak berdaya dan kehilangan harapan. Kita semua tahu bahwa ketika kita sedang berada di lingkaran yang nyaman (comfort zone), kita lebih mudah membangun mimpi-mimpi. Tapi mimpi-mimpi tersebut bisa runtuh seketika ketika kita harus berhadapan langsung dengan kenyataan. Bak fatamorgana, ia tidak nyata. Semu. Tipuan mata semata. Dan ini bisa sangat menggelisahkan kita.

Bagaimana mengatasi kegamangan ketika kita tak lagi bisa berkelit terhadap kenyataan? Ketika kita tak bisa lagi sembunyi di balik mimpi-mimpi yang menaburkan banyak harapan?

Jawabannya: HADAPI SAJA!

Tidak ada jalan lain, tidak ada jalan pintas!
Anda dan saya sama-sama manusia yang harus melalui jalan yang sama yaitu kenyataan!
Apakah Anda seorang pegawai atau wirausahawan, bawahan atau atasan, petani atau presiden, apapun embel-embel yang menempel pada diri kita, kita akan tetap diperhadapkan pada kenyataan. Siap atau tidak siap, sedang percaya diri atau sedang kecil nyali, sedang berani atau sedang takut, semua itu harus dilalui.

Kenapa kita stress? kenapa kita depresi?
Bisa jadi karena kita kurang percaya diri, takut gagal dan tidak berani menghadapi kenyataan.
Kenapa takut gagal? Kenapa tak berani menghadapi kenyataan? Padahal kita tahu di seluruh dunia, semua manusia pernah gagal dan pernah merasa takut menghadapi kenyataan? Kita tak sendirian, kawan.

Masalahnya mungkin terletak pada standar yang kita terapkan bagi diri sendiri. Jangan-jangan standar itu terlalu tinggi, sehingga membuat kita merasa kesulitan mencapainya. Kita jadi tegang jika tak tercapai. Kita merasa gagal, lantas patah arang. Lalu berlanjut menjadi penyakit jiwa nomor satu di dunia: tidak percaya diri.

Kalau begitu, bagaimana jika kita mencoba membebaskan diri dari lingkaran setan tersebut? Bagaimana caranya?

Ada satu cara yang cukup ampuh dan efektif yang tanpa sengaja saya temukan dari pengalaman beberapa waktu belakangan ini. Mungkin bisa berguna bagi Anda juga. Semoga.

Sebelum ini, saya adalah penganut berat paham worksmart bukan workhard. Saya paling alergi dengan istilah "kerja keras", karena bagi saya itu identik dengan kaum workaholic yang cenderung menelantarkan keluarga demi sebuah pekerjaan atau prestasi di pekerjaan. Kerja keras menurut saya juga identik dengan kerja otot dan bukan kerja otak, dan ini membuat kita seolah tak pernah mencatat kemajuan dalam sejarah peradaban manusia jika masih saja terus menerus mengandalkan otot dan bukan otak. Itu anggapan saya dulu lho... yang mungkin terlalu ekstrim memilah-milahkan antara otot dan otak. Padahal kalau dipikir-pikir, semestinya keduanya berjalan sinergi ya?

Nah, tapi karena paradigma berpikir saya seperti itu, jadilah saya menjauhi jenis-jenis pekerjaan yang berbau kerja tangan. Saya lebih suka mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan ide, gagasan, impian, dsb. Dan seperti Anda tahu, sikap seperti ini pun tidak mencerminkan keseimbangan. Saya hidup di alam tidak nyata dan ilusi semata. Jadi ketika harus berhadapan dengan kenyataan, saya tidak pernah siap. Saya selalu ragu dan kuatir jika suatu hari nanti di PHK dan tidak ada perusahaan yang mau menampung saya lagi, apa yang harus saya lakukan?

Langkah radikal yang saya ambil kemudian adalah melakukan kegiatan yang 180 derajat berlawanan dengan apa yang saya pahami semula. Dari yang tadinya tidak ingin menyentuh dunia kerja otot, akhirnya saya malah terjun total ke situ. Saya yang semula tidak bisa bangun pagi, sekarang bangun pukul 03.30 untuk memulai pekerjaan saya. Saya yang semula enggan menyentuh pekerjaan kasar, sekarang justru melakukannya. 99% pekerjaan saya sekarang adalah bekerja tangan, bukan pikiran. Nah, di sinilah justru perubahan mulai terjadi. Saking asyiknya tangan bekerja, pikiran kita pun tidak sempat untuk menguatirkan ini dan itu. Ketika gagal jual hari ini, kita sudah memulai yang baru untuk esok hari - yang tentunya disertai dengan harapan baru. Saya tidak sempat berlama-lama menangisi kegagalan. Saya tidak punya waktu untuk berlarut-larut tinggal dalam kekecewaan dan kekuatiran. Saya tenggelam dalam kesibukan yang memabukkan sehingga tanpa terasa telah melalui sebuah kenyataan pahit dengan ringan dan cepat.

Di sinilah saya belajar, bahwa mempunyai paradigma yang salah, bisa membuat kita berjalan salah pula. Memegang paradigma terlalu kuat, membuat kita mengabaikan keseimbangan. Bersikap lentur saja seperti pohon bambu, mungkin itu akan lebih berguna. Pohon bambu mudah digoyang angin tapi tak mudah patah. Ia menyesuaikan diri sedemikian dengan rupa-rupa godaan dan hambatan. Saya percaya, pohon bambu ada untuk mengajar kita, bagaimana menyemangati diri sendiri ketika harapan seolah tak ada.

Nah, sekian dulu sharing saya. Mungkin lain kesempatan bisa disambung lagi. Semoga bermanfaat.

Salam,

Sabtu, 15 November 2008

HIDUP CUKUP ALA KAUM FREEGAN



Minggu lalu, saya terinspirasi oleh dua tayangan pada dua stasiun TV yang berbeda. Yang pertama adalah liputan Oprah Winfrey Show tentang kaum Freegan, dan yang kedua adalah wawancara DAAI TV dengan Romo Sandyawan Sumardi.

Apa itu Freegan?

people who have decided to live outside consumer society. Freegans say our culture's emphasis on buying the newest products—and throwing away perfectly fine older things—is a waste of the world's resources. Instead, they focus on buying less and use only what they need. One of the main ways freegans do this is by salvaging food and other goods from the trash.

(selengkapnya bisa anda lihat di Oprah.Com)

Ada definisi yang lebih lengkap:

Freeganism is an anti-consumerism lifestyle whereby people employ alternative living strategies based on "limited participation in the conventional economy and minimal consumption of resources. Freegans embrace community, generosity, social concern, freedom, cooperation, and sharing in opposition to a society based on materialism, moral apathy, competition, conformity, and greed,The lifestyle involves salvaging discarded, unspoiled food from supermarket dumpsters that have passed, or in some cases haven't even passed, their sell by date, but are still edible and nutritious. They salvage the food not because they are poor or homeless, but as a political statement.

The word "freegan" is a blend of "free" and "vegan".Freeganism started in the mid 1990s, out of the antiglobalization and environmentalist movements. Groups such as Food Not Bombs served free vegetarian and vegan food that was salvaged from food market trash by dumpster diving. The movement also has elements of Diggers, an anarchist street theater group based in Haight-Ashbury in San Francisco in the 1960s, that gave away rescued food.

(Sumber:http://www.facebook.com/group.php?gid=55202305088&ref=share)


Salah satu partisipan dari kelompok freegans ini adalah Madeline seorang eksekutif di New York City dengan penghasilan jutaan dollar. Keputusannya untuk menjadi freegan boleh jadi dinilai mengejutkan karena salah satu cara hidup mereka yang gemar mengais dan memanfaatkan makanan maupun barang yang telah dibuang (sampah). Keputusan Madeline tentu bukanlah tanpa dasar. Dimulai dari kerisauannya hatinya tentang betapa besar pengeluarannya untuk apa yang ia makan dan ia kenakan. Ia lantas bertanya pada diri sendiri, apakah aku memang benar-benar membutuhkan barang ini atau barang itu? makanan atau baju dengan harga sedemikian mahal? Madeline juga membayangkan, ketika sebagian warga dunia dilanda kelaparan dan kekurangan pangan, para warga di negara-negara makmur dan berkembang justru membuang-buang makanan yang semestinya akan dijual di supermarket hanya karena sedikit penyok, atau sedikit tergores. Itu sebabnya maka Madeline akhirnya bergabung dengan komunitas freegan.

Kaum freegan adalah mereka yang prihatin dengan kenyataan bahwa telah terjadi pemborosan yang luar biasa demi sebuah gaya hidup, dan memutuskan hidup sederhana karena kesadaran mereka akan penghematan energi. Bisa jadi mungkin juga demi berbela rasa dengan mereka yang miskin dan berkekurangan. Mereka rela mengais sampah di malam hari dan mencari makanan kemasan maupun kalengan, bahkan sayuran dan buah-buahan yang masih segar untuk dikonsumsi. Bukan karena mereka pelit atau terlalu irit, tapi karena mereka menyayangkan mengapa makanan yang masih bisa dikonsumsi, belum kadaluarsa, sudah harus berakhir di pembuangan sampah. Mereka juga memilih untuk hidup "secukupnya". Meski penghasilan mereka memungkinkan untuk tinggal di apartemen mewah, belanja makanan mahal, baju dan perlengkapan busana yang highclass, tapi mereka memilih untuk tidak melakukannya. Yang paling mencengangkan bagi saya adalah mereka memutuskan hidup sederhana dengan makanan dan perabotan bekas, tapi menyumbangkan sebagian gaji jutaan dolar mereka kepada orang yang tidak mampu. Ck...ck...ck... ini sungguh mengharukan.

Di Indonesia sendiri ada Romo Sandyawan yang juga memiliki sikap yang nyaris mirip. Ketika mendengarkan wawancara DAAI TV dengan beliau, saya jadi speechless. Kok ada ya orang yang mau seperti ini? pikir saya.
Dengan kesadaran yang tinggi untuk merasakan penderitaan mereka yang miskin dan terpinggirkan, Romo Sandy rela menyamar menjadi buruh dan bahkan menjalani hidup sebagai buruh demi untuk belajar dan merasakan bagaimana hidup sebagai buruh itu. Romo Sandy juga memutuskan untuk hidup bersama-sama, berdampingan dengan mereka yang tinggal di bantaran kali Ciliwung. Susah dan senang mereka alami dan rasakan bersama, apakah itu kebanjiran atau pun penggusuran. Salah satu kalimat beliau yang melekat kuat di memori saya hingga saat ini adalah: yang kita perangi bersama adalah kemiskinan, bukan orang miskinnya!

Bagi saya, kaum freegan maupun Romo Sandy adalah orang-orang yang dengan kesadaran yang tinggi mau menyederhanakan kebutuhan hidupnya demi dirinya sendiri (agar hidup lebih bijak) maupun demi orang lain yang lebih menderita (dalam berbela rasa), sebagaimana yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus yang:

... telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. (Fil 2:7-8)

Semoga kita dapat mengikuti teladan mereka.

Salam.

Sabtu, 08 November 2008

OBAMA...OBAMA...!!!

Bukan hanya warga Amerika Serikat yang tegang dan menunggu dengan penuh debar hasil pemilihan presiden tahun ini, tapi hampir seluruh dunia tersedot perhatiannya untuk tidak melewatkan detik-detik paling bersejarah ketika untuk pertama kalinya seorang keturunan Afro-Amerika tampil sebagai orang nomor satu di negeri super power tersebut. Dan ketika akhirnya Obama memenangi pemilu, seluruh dunia seolah tenggelam dalam sukacita dan pesta pora.

Apa yang sebenarnya mereka rayakan? Sedemikian dahsyatkah kharisma dan daya tarik Obama sehingga mereka begitu merasa punya keterikatan batin dengannya, rela antre berjam-jam dengan antusiasme yang tinggi untuk memberikan suaranya? Terlebih lagi, masyarakat di luar Amerika yang mendadak demam Obama dan turut haru biru, meneteskan air mata dan bersorak-sorai bagi kemenangannya? Benarkah hanya karena orasinya yang memukau Obama sedemikian menjadi pusat perhatian dunia? Benarkah ia hanya memenangi momentum? Benarkah karena tema "perubahan" yang diusungnya membuatnya lantas digantungi harapan berjuta manusia?

Boleh jadi alasan-alasan tersebut lah yang mendasari terpilihnya Obama. Tapi boleh jadi sebenarnya bukan kemenangan Obama yang kita rayakan atau bukan sosok Obama yang kita sanjung dan idolakan, melainkan kita semua sedang merayakan kemenangan dari sebuah "kemustahilan". Kita merayakan kemenangan diri sendiri, ketika tiba-tiba kita tersadar bahwa harapan itu nyata ada, bahwa bukan hanya Obama yang bisa menang, tapi kita semua pun memiliki kesempatan yang sama!

Obama bukan sekedar menjadi ikon warga kulit hitam atau warga Amerika pada umumnya. Ia adalah sosok yang mewakili kita semua dalam mewujudkan mimpi dan harapan, membuat yang mustahil menjadi mungkin! Obama adalah spirit dan inspirasi bagi kita semua yang rindu akan kemenangan, terutama menang atas kelemahan diri sendiri.

Ya, Obama mewakili mereka yang minoritas dan terpinggirkan. Ia mewakili mereka yang broken home. Ia mewakili Barat dan Timur karena darah dan sejarah hidupnya yang multikultural. Ia pun mewakili mereka yang putus asa terhadap hidupnya karena ia pun pernah memiliki masa lalu yang suram dalam cengkeraman narkoba. Obama mewakili kita semua, memberikan harapan bahwa kita pun mungkin bertransformasi dari yang semula bukan siapa-siapa menjadi orang yang lebih bermakna daripada sebelumnya. Kemenangan Obama adalah pertama-tama menang atas dirinya sendiri. Sesungguhnya ia sudah menang jauh-jauh hari sebelum terpilih menjadi presiden Amerika Serikat yang baru.

Bagaimana dengan kita?

Apakah detik ini kita juga sudah menang atas diri sendiri? Sanggup menerima kelemahan diri dengan besar hati, dan sanggup berbangga tanpa arogansi terhadap kelebihan diri?

Apakah kita masih sering bersikap reaktif, marah dan sakit hati ketika dikritik?

Apakah kita masih sanggup berjalan meskipun terpaksa sendirian tanpa dukungan?

Apakah kita masih suka menyalahkan pihak lain sebagai penyebab kegagalan kita?

Apakah kita masih larut dan sulit beranjak dari kegagalan masa lalu?

Apakah kita masih sulit mempercayai adanya harapan di masa depan?

Apakah kita masih sulit mengampuni diri sendiri?

Berbagai peristiwa datang dan pergi dalam kehidupan kita seperti air yang mengalir. Orang bijak mengatakan, biarkan air mengalir, jangan dibendung pun jangan dibelokkan. Karena air yang mengalir membawa serta berkah maupun musibah. Dan keduanya sama baiknya bagi kita. Tak hanya berkah yang membawa kebaikan. Namun musibah juga memberikan banyak pengajaran yang pada akhirnya juga memberikan manfaat kepada kita.

Mari kita berjuang bersama sejak saat ini, sebagaimana Obama yang menyerukan: ”YES, WE CAN!”.