Google

Senin, 27 Agustus 2007

Mensyukuri Kehilangan

Minggu pagi yang lalu, akhirnya anjing kesayangan saya - Pepey - meninggal dunia. Meski semalam sebelumnya sempat saya bawa ke dokter hewan dan mendapat pengobatan, ternyata tak mampu menyelamatkan nyawanya lagi. Dengan hati sedih saya membungkus jazadnya dengan kain, menggali sendiri tanah di pekarangan untuk tempat persemayamannya yang terakhir, kemudian menguburkannya ke dalam lubang itu. Kenangan bersamanya pun sempat sesekali bermunculan.

Hubungan saya dengan Pepey memang lebih dari sekedar hubungan anjing dan tuannya. Ia hadir pertama kali ketika saya sedang menghadapi ujian hidup yang cukup berat. Keberadaannya serta merta menghibur dan mencairkan kebekuan yang terjadi saat itu. Pepey anjing yang nakal dan aktif. Sewaktu masih kecil dan saya tempatkan di dalam rumah, habis satu pintu belakang saya digerogotinya. Sejak saat itu saya pindahkan dia ke halaman depan supaya lebih bebas menikmati alam sekitar. Ia lebih senang lagi jika saya mengajaknya lari pagi. Tampangnya yang badung terlihat semakin kocak dengan lidah terjulur keluar mengajak bercanda, dan dengan setia ia berlari-lari kecil di samping saya.

Jika memang belum waktunya, apapun sulit menjadi alasan terjadinya sebuah perpisahan. Saya sempat kehilangan Pepey saat usianya baru beberapa bulan. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba ia sudah raib dari pekarangan rumah kami. Saya menunggunya sampai beberapa hari dengan harap harap cemas, tapi ia tak juga menunjukkan batang hidungnya. Saat itu di kompleks perumahan saya memang sering terjadi penculikan anjing. Meski sempat kuatir kalau-kalau Pepey jadi korban penculikan, saya yakin ia masih hidup. Dan benar saja. Suami yang baru saja pulang dari warung menemukan ia di sana, dan Pepey kemudian ikut pulang bersamanya. Aduh senangnya...

Peristiwa lain adalah ketika Pepey melahirkan yang kedua kalinya. Anaknya banyak sekali dan kami kewalahan menanganinya. Akhirnya kami bagi-bagikan ke orang yang mau memeliharanya. Karena kuatir anaknya terlantar, kami sertakan Pepey untuk dibawa sekalian. Lucunya, ternyata Pepey sanggup membuat pilihan :-). Sungguh mengharukan tatkala mendapati ia pulang sendirian setelah terantuk-antuk menyusuri jalanan untuk bersatu dengan kami kembali.

Peristiwa ketiga adalah saat banjir besar melanda Jakarta awal tahun ini. Rumah kami kebanjiran sampai setinggi dada. Setelah mengevakuasi anak kami untuk mengungsi, saya dan suami kembali ke rumah untuk mengevakuasi Pepey. Saat itu ia sudah dikepung air. Ia menguik-nguik gembira melihat kami. Kami memasukkannya ke dalam ember besar dan mengapungkan ember sampai ke tempat yang aman. Untuk sementara Pepey diikat supaya tidak mengganggu. Beberapa hari kemudian ketika banjir telah surut dan kami kembali ke rumah untuk bersih-bersih, Pepey menghilang dari rumah di mana kami mengungsi. Memang kami sempat kepikiran juga kemana dia pergi. Tapi tiba-tiba suatu hari ia muncul lagi di hadapan kami, lengkap dengan tali yang masih terikat di lehernya....

Jadi ketika sekarang Pepey pergi untuk selama-lamanya, saya hanya bisa berpikir, mungkin memang sudah saatnya. Bukankah segala sesuatu ada waktunya? Ada waktu lahir, ada waktu mati. Ada waktu bertemu, ada waktu berpisah...

Kehilangan Pepey adalah kehilangan saya yang keempat tahun ini setelah kehilangan beberapa barang saat kebanjiran; kehilangan Bapak mertua yang meninggal dunia karena sakit; kehilangan Nur, pembantu yang sudah 5 tahun mengabdi dan sekarang kehilangan Pepey yang sudah hampir memasuki tahun keempat tinggal bersama dengan kami.

Kehilangan sesuatu atau seseorang yang kita cintai memang menyedihkan. Tapi di balik semua itu, kita patut bersyukur, karena setiap proses kehilangan menjauhkan kita dari kemelekatan. Kemelekatan terhadap sesuatu yang tidak abadi. Ketika kita dengan gagah berani mampu melepaskan apa yang kita cintai, itulah saatnya menuju kematangan diri. Selalu ada kebaikan si balik semua penderitaan dan kesedihan diri. Selalu ada a blessing in disguise pada setiap peristiwa yang kita alami.

Akhirnya, selamat jalan Pepey. Maafkan aku yang mungkin kurang peduli pada saat-saat terakhirmu. I love you....

Kamis, 23 Agustus 2007

Diam, Amati, Terima dan Syukuri!

Pernahkah Anda mengalami suatu keadaan di mana masalah berdatangan seolah-olah tak kunjung henti? Baru saja mengalami masalah A, tiba-tiba sudah muncul masalah B, disusul masalah C dan seterusnya secara silih berganti dalam waktu yang nyaris bersamaan.

Apa yang Anda rasakan? Bingung? Ingin marah? ingin menangis? ingin lari? merasa tertekan? frustrasi? depresi? panik tak terkendali?

Apa yang Anda lakukan? Segera ambil tindakan? Sibuk menyalahkan keadaan? Marah-marah?Mengomel?Bersungut-sungut? Atau malah diam tak berdaya?

Saya mengalaminya beberapa waktu belakangan ini.

Pembantu rumah tangga yang sudah 5 tahun bekerja pada kami tiba-tiba mengundurkan diri karena akan menikah. Wah, mendadak urusan rumah yang semula tak lagi jadi pikiran jadi keteteran..., anak tak terurus padahal sedang musim ulangan...,

Dapat pembantu pengganti, ehh bukannya cocok, malah menambah masalah sendiri...

Tagihan listrik yang mendadak naik 2x lipat bulan ini, bukan karena pemakaian kami melainkan karena kelalaian petugas pencatatnya. Tapi malah kami sebagai konsumen yang harus menanggungnya...

Pengeluaran-pengeluaran tak terduga yang meledak luar biasa mulai dari keperluan sekolah anak, urusan sosial kemasyarakatan, acara tujuhbelasan..., dll

Orang-orang terkasih yang salah mengerti, menyebabkan putus komunikasi dan beban emosi...

Urusan pekerjaan di kantor, target sales yang tidak tercapai, rekan sekantor yang tiba-tiba berselisih paham...

Plafon rumah yang bocor kena hujan awal musim kemarin, anjing kesayangan yang tidak mau makan dan terserang demam...,

Kabar yang kurang menggembirakan hari ini dari program investasi yang saya ikuti...

Wah, pendeknya bertubi-tubi dan membutuhkan kesabaran tinggi untuk menghadapinya.

Dulu, sebelum komit menjalani program transformasi diri, saya akan langsung panik, tegang, dan marah-marah setiap kali menghadapi kondisi seperti ini. Maklum, biasanya saya selalu mengatur sedemikian rupa semuanya supaya dalam keadaan terkendali dan mereduksi hal-hal yang terjadi di luar dugaan.

Tapi sekarang saya mulai bisa dengan lebih mudah menerima keadaan dan kenyataan.
Resepnya adalah: Diam - Amati - Terima Saja dan Syukuri.

Maksudnya demikian,
Jika suatu kali tiba-tiba kita mengalami sebuah kejadian tak terduga, jangan langsung bereaksi. Ambil waktu sejenak untuk berdiam diri dan mengamati. Amati saja, jangan menganalisa. Amati dan pelajari.

Diam yang saya maksud bukan berarti tidak cepat tanggap. Juga bukan bengong-bengong saja tanpa daya. Diam di sini artinya menenangkan diri, mengendalikan emosi.
Jangan menganalisa maksudnya jangan menggunakan otak sadar kita yang terbatas ini untuk mengatasi. Masuklah ke level alpha alias subconscious mind karena di situlah letak solusi yang kita butuhkan. Masuklah ke ruang meditasi di dalam diri karena Tuhan dan alam semesta akan membantu kita menemukan jawabnya.

Akan berbeda jika kita menanggapi semua masalah itu dengan emosi yang bergejolak. Atau bergerak di level beta di mana kita cenderung menggunakan logika dan bukan rasa. Intuisi dan kata hati yang seharusnya kita ikuti malah akan nyaris tak terdengar.

Keadaan diam sesungguhnya menjadi penolong kita dalam menemukan jawaban kreatif atas setiap masalah yang kita hadapi. Sebagaimana kata-kata bijaksana yang saya kutip berikut ini:

"dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu..."
... in quietness and in confidence shall be your strength...
Diam sebenarnya bukan hal yang mudah bagi saya, karena saya tipe orang yang mudah tersulut dan terbakar, hahaha... Tapi saya mau dan sedang belajar mendisiplin diri untuk melakukannya.

Yang kedua, terima saja dan syukuri.
Kadang-kadang, ada masalah yang ingin segera kita atasi namun tak kunjung memperoleh solusi. Atau suatu keadaan yang ingin kita ubah namun tak kunjung bisa berubah. Jalan satu-satunya ya tidak perlu memaksakan diri. Terima saja dan syukuri.

Saya mendapat insight dari buku Ric A. Weinman: Tangan Anda Dapat Menyembuhkan (Your Hands Can Heal) yaitu bahwa ketika kita bernafas, tugas kita hanya menerima saja.

Ya, ada beberapa hal dalam kehidupan ini yang kita dapatkan tanpa perlu mengusahakannya. Misalnya udara untuk bernafas, sinar matahari, dsb. Sikap kita di sini hanya perlu menerima saja dan mensyukurinya. Sulit membayangkan kita berontak atau lari menghindari udara atau kehangatan sinar matahari bukan?

Maka dalam menghadapi masalah, saya mencoba menerapkan teknik yang sama. Pertama-tama saya ubah mindset saya tentang masalah. Saya tempatkan masalah pada posisi yang netral. Bukan hal yang mengancam atau membuat saya lari ketakutan. Saya anggap sebagai hal yang lumrah untuk dihadapi dalam kehidupan. Itu mencegah saya menjadi panik, berontak atau lari daripadanya.

Setelah itu, dengan berdiam diri saya akan terima saja dulu apapun yang terjadi itu tanpa komentar, tanpa reaksi. Semudah saya menarik nafas dari detik ke detik. Terima saja. Terima saja. Dalam beberapa saat, tiba-tiba saya akan merasakan sebagian besar beban masalah itu sudah terangkat. Beda rasanya jika saya berontak. Badan dan pikiran akan terasa letih, energi terkuras untuk melawannya. Tapi dengan menerima, energi saya terasa utuh. Saya merasa lebih kuat.

Kekuatan berikutnya diperoleh dari rasa syukur. Saat kita bisa menemukan satu saja hal yang bisa kita syukuri dalam himpitan masalah itu, akan muncul hal-hal berikutnya yang menambah kekuatan dan daftar syukur tersebut. Dan tanpa terasa beban kita perlahan-lahan telah berkurang tanpa kesulitan yang berarti. Karena masalah atau bukan masalah memang tergantung dari cara kita memandangnya.

Sekian dulu postingan saya hari ini, semoga ini bisa bermanfaat bagi mereka yang sedang dalam himpitan masalah.

Salam,

Selasa, 21 Agustus 2007

Perempuan-perempuan Luar Biasa

Kemarin sepulang kerja, saya berkesempatan ngobrol dengan pekerja rumah tangga saya yang baru. Dia seorang ibu dari 4 anak yang semuanya masih dalam usia sekolah. Suaminya jobless, walaupun kadang-kadang memperoleh penghasilan juga dari ojek motornya atau upah mencuci bus di Pulogadung. Jadi bisa dikatakan si mbak N ini adalah tulang punggung keluarga satu-satunya.

Yang menyedihkan adalah, ternyata ia sudah beberapa kali mencoba bunuh diri karena tidak tahan terhadap tekanan ekonomi dan beban moral yang musti disandangnya. Belum lagi memikirkan dari mana biaya untuk hidup dan sekolah bagi ke-4 anaknya, ia juga musti menghadapi kenyataan bahwa suami sering berselingkuh dan main judi. Dan jika ia memperingatkan sang suami dengan cara yang paling halus sekali pun, tak ayal ia akan jadi korban hajaran dari suaminya, bukan hanya tubuh tapi juga wajah. Bahkan yang lebih memalukan lagi, itu dilakukan suaminya di depan umum, di bawah tatapan mata banyak orang yang hanya bisa menonton tanpa mengambil tindakan apapun.

Sambil berkisah dengan mata berkaca-kaca, mbak N mengatakan bahwa ia bertahan dalam hidup pernikahannya supaya anak-anaknya tidak kehilangan figur bapak. Ia hanya berharap, anak-anaknya dapat terus bersekolah, dan menjadi "orang", tak peduli berapa berat biaya yang musti ditanggungnya.

Cerita semacam ini bukan satu dua kali saya dengar langsung dari orang-orang semacam mbak N. Pengasuh anak saya yang pertama juga memiliki pengalaman yang mirip. Dan setelah hampir 6 tahun sejak ia berpisah dengan kami, ia menelpon saya dan mengabarkan bahwa akhirnya ia bercerai dengan suaminya.

Saya juga mendapati bahwa bukan hanya mereka yang berada di level ekonomi menengah ke bawah saja yang mengalaminya. Seorang sahabat di Palembang yang sudah saya anggap saudara sendiri, serta satu klien di daerah Bekasi yang saya kenal lewat telpon juga mengalami hal yang sama. Selain harus berfungsi sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, mereka masih harus menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Mata yang jadi rusak karena sering ditinju, kepala bocor karena disabet kepala ikat pinggang, diusir dari rumah tanpa bekal uang dan pakaian satu lembar pun, juga kekerasan seksual. Jika mereka minta untuk diceraikan, kekerasan yang mereka terima semakin menjadi. Sungguh, bukan satu cerita yang sedap untuk didengar dan dibagikan.

Sementara seorang sahabat di Bali dan satu lagi di Solo bernasib lebih baik, tidak sempat menjadi korban kekerasan, tapi harus jungkir balik mencari nafkah demi suami dan anak-anaknya. Masih banyak sebetulnya orang-orang bernasib serupa yang entah kenapa seperti didatangkan kepada saya, atau saya lihat secara langsung.

Pertanyaan saya: Wahai..., gejala apa ini?
Apa sebenarnya pesan di balik semua yang terjadi ini?

Terus terang saya belum menemukan jawabannya. Namun yang saya lihat adalah sebuah pembelajaran dari perempuan-perempuan luar biasa ini. Mereka dengan tegar terus bertahan terhadap semua penyiksaan dan dengan gigih mencari sesuap nasi demi anak-anak yang mereka cintai.

Mereka sudah harus bangun lebih awal untuk menyiapkan anak-anaknya bersekolah saat sang suami masih tidur mendengkur di peraduannya.
Kemudian bergegas menyiapkan diri memulai hari. Berjuang di jalan raya dan bertarung dengan kesemrawutan lalu lintas yang ada.
Tak jarang tanpa sempat sarapan (karena tak ada lagi makanan yang bisa disantap).
Bekerja keras di tempat kerja masing-masing yang kadang masih diselingi dengan beban emosi yang menguras energi.
Saat matahari terbenam baru tiba di rumah. Seringkali tak bisa langsung mengaso, melainkan masih harus memasak, menyiapkan makan untuk keuarga, mencuci baju dan peralatan dapur, membersihkan rumah dan juga mendampingi anak belajar.

Ke mana para suami?
Mungkin sedang bersantai di depan TV, atau mengasyiki game di depan layar komputer. Mungkin ngobrol sambil ngopi atau main catur dengan tetangga. Dan sesudahnya bisa menghabiskan waktu untuk bermimpi di kasur yang empuk.

Heran?
Tapi itulah fakta!

Sementara para perempuan luar biasa ini nyaris tak pernah berpisah dengan simbah peluh dan air mata. Mereka menangis bukan karena penderitaan mereka sendiri, tapi karena tak tahu anak mereka harus diberi makan apa hari ini. Mereka bingung bukan karena nasib mereka sendiri, tapi karena tak ada ongkos transport untuk berangkat kerja, tak ada uang untuk bayar uang sekolah anak, tak ada beras yang bisa ditanak, tak ada tempat untuk meletakkan kepala apalagi untuk berbagi perasaan yang menyesakkan dada.

Tiap hari mereka harus bertanya, apa yang bisa dimakan hari ini?
Bukan untuk perutku, tapi untuk anakku.

Bahkan kadang mereka bertanya, apakah harapan itu benar ada.
Jika ada, bagaimana cara harapan itu menampilkan dirinya? Kenapa tak segera mewujudnyata di hadapan kami?
Merasa pahit? Rasanya tak guna lagi, karena racun kehidupan sudah jadi makanan sehari-hari. Apa yang perlu dikeluhkan? Apakah dengan mengeluh menyelesaikan persoalan?

Buat para perempuan yang luar biasa ini, yang dengan kepala tegak terus berdiri menantang kehidupan yang menghampiri, sungguh saya tak mampu memberikan support yang berarti selain memberikan hati untuk berempati. Saya sendiri masih berjalan di jalan yang sama, saya belum menemukan jalan keluarnya. Tapi saya yakin, kita akan sama-sama tiba di ujung terowongan dan menemukan secercah sinar yang akan menerangi jalan kita nantinya.

Salam saya untuk para perempuan luar biasa ini.

Senin, 20 Agustus 2007

Stop Press (2)

O, ya sebelum terlanjur kelamaan, saya ingin berterimakasih untuk kunjungan rekan-rekan blogger (senior) yang sangat membesarkan hati seorang pemula seperti saya.

Yang pertama untuk rekan Made Sariada, atas emailnya tanggal 8 Agustus 2007 yang lalu. Dan yang kedua rekan Anang YB atas email dan komentarnya tanggal 13 Agustus 2007.

Khusus untuk bung Anang, terimakasih atas petunjuknya yang panjang lebar tentang membuat link. Anda pasti telah menyisihkan waktu yang tak sebentar untuk menuliskan itu buat saya. Terimakasih. Sangat bermanfaat bagi saya yang gaptek ini...

Sebagai ungkapan rasa hormat saya, saya cantumkan blog Anda berdua di blog ini. Semoga semakin sering kunjungannya. Jangan kapok, hahaha...

Salam,

Belajar dari Orang Yang Memusuhi Kita

Jujur saja, sebenarnya ini bukan judul postingan yang saya rencanakan untuk hari ini. Rencana berubah mendadak ketika tadi pagi saya menerima sebuah email yang berisi caci maki lengkap dengan warna teks yang serupa dengan salah satu warna bendera kita :-( . Email ini datang dari seorang rekan kerja yang cukup dekat dengan saya. Tak heran, saya sempat terhenyak dan memutuskan untuk segera melakukan introspeksi.

Tak perlulah saya ceritakan di sini mengapa dan alasan apa email itu dikirimkan. Yang lebih penting bagi saya adalah, pelajaran apa yang perlu saya petik dari peristiwa ini dan bagaimana menyikapinya.

Saya bisa saja memilih dari sekian alternatif yang mungkin. Misalnya, saya bisa saja terpancing marah dan balas memaki-makinya. Kedua, saya bisa saja ambil sikap tak mau pusing alias masa bodo atau cuek saja. Dan yang ketiga, saya bisa mengambil sikap tak bereaksi.

Benar, Anda tak salah baca.
Tak bereaksi konon adalah jalan yang harus ditempuh jika seseorang ingin "naik kelas" dalam hal kebijaksanaannya.

Beberapa waktu lalu saat belajar meditasi, saya mendapat insight bahwa peristiwa tak ubahnya seperti buah pikiran yang bermunculan silih berganti dan jumlahnya bisa ribuan macam dalam sehari, mulai dari kita bangun di pagi hari sampai malam nanti kita kembali ke peraduan.

Tak percaya? Silakan mengujinya.
Anda boleh coba luangkan 1-5 menit dengan duduk diam bersila sambil memejamkan mata. Fokuskan pikiran pada 1 titik. Dan amati apa yang terjadi.

Jika Anda tak terbiasa bermeditasi, maka dalam hitungan detik saja, pikiran Anda sudah akan melayang entah ke mana. Bisa jadi tiba-tiba Anda teringat apakah kompor sudah dimatikan? apakah pintu sudah dikunci? di mana Anda meletakkan kunci? apakah kran air di kamar mandi sudah dimatikan? Kalau belum... mudah-mudahan ada yang ingat untuk mematikan... waduh perut udah lapar nih. O, ya, mau makan apa hari ini? enaknya masak apa ya? Kalau begitu harus belanja dong? Apa saja yang perlu dibeli? belanja ke mana? sama siapa? waoowww...

Bisa dibayangkan bukan, kalau saja kita bereaksi terhadap setiap buah pikiran yang muncul bisa-bisa kita akan gagal bermeditasi. Saya sendiri sering merasa tergoda untuk membuktikan apakah yang terlintas di pikiran saya benar demikian adanya. Atau pikiran saya tiba-tiba sudah beralih fokus ke topik yang lain. Sungguh tidak mudah lho belajar tak bereaksi itu.

Meditasi adalah sebuah cara ampuh untuk melawan godaan. Kita dilatih untuk tidak gampang bereaksi baik terhadap buah pikiran, maupun terhadap berbagai peristiwa yang datang dan pergi.

Saya jadi teringat tokoh pendekar silat di cersil-nya Kho Ping Hoo atau para jagoan kungfu yang diperankan oleh Jet Lee dan Jackie Chan. Mereka yang akhirnya berhasil mengalahkan kejahatan biasanya karena sudah terlebih dahulu menang dalam menaklukkan pikiran sendiri. Cara mereka melatih diri apalagi kalau bukan belajar tak bereaksi? Sesuai bukan dengan pepatah bijaksana ini?
Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan,
orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.

Itu sebabnya sering digambarkan para jagoan ini menghindari keributan atau tak ambil pusing ketika para penjahat berusaha memancing reaksi mereka. Karena "terpancing" menandakan mereka sudah keluar dari jalur fokus dan mengarahkan energi mereka ke sana. Dan akibatnya, energi positif yang telah mereka pelihara selama ini bisa tercemari oleh energi negatif lawannya.

Kembali ke persoalan saya dengan rekan di atas. Apa yang bisa dipelajari?

Saya tak bilang bahwa saya yang benar dan dia yang salah. Karena benar salah adalah sebuah persepsi. Saya juga tak bilang sayalah si jagoan yang berpikir positif dan dia si jahat yang berpikir negatif.
No, no, no....

Anda ingin tahu pendapat saya?

Saya sama sekali tak menyalahkannya. Karena apa yang dialaminya pernah saya alami dan mungkin sekali waktu nanti bisa saya alami kembali. Semua manusia akan pernah mendapat ujian yang serupa dalam setiap babak kehidupannya. Kebetulan kali ini giliran rekan saya, siapa tahu berikutnya giliran saya? Itu sebabnya saya sangat memahaminya dan bisa menerima semua alasan kemarahannya. Saya juga tak benci kepadanya, malahan memakluminya.

Yang kedua, saya justru berterimakasih kepadanya. Karena dari semua caci makinya saya tahu apa yang menjadi kekurangan saya. Kadang dari seorang teman atau sahabat baik belum tentu kita memperoleh masukan yang sejujurnya, tapi justru dari orang yang memusuhi dan membenci kita, kita bisa memperoleh input yang berguna.

Yang ketiga, melalui peristiwa ini saya diingatkan untuk terus mencari solusi yang lebih seimbang bagi kebaikan bersama. Semua ketidakpuasan yang diletupkan oleh rekan saya ini menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dalam sistem yang sedang diberlakukan. Dan itu membutuhkan perbaikan atau pembenahan dengan segera.

Akhirnya, dari semua peristiwa yang terjadi pada hari ini, saya mencoba mengucap syukur. Tidak ada yang kebetulan dari sebuah ketidakbetulan. Tidak ada yang salah dari sebuah peristiwa yang nampaknya salah. Yang ada hanyalah, pembelajaran dan pelatihan agar kita menjadi manusia yang lebih baik lagi dari waktu ke waktu.

Salam,

Kamis, 16 Agustus 2007

Belajar dari Mama

Dua hari yang lalu mama saya yang tercinta datang dari kampungnya, Wonosobo. Seperti layaknya ibu-ibu jaman dulu, tak lupa ia membawa oleh-oleh yang beratnya bahkan melebihi tas pakaiannya. Katanya karena saking cintanya kepada anak, menantu dan cucunya.

Ah, jadi terharu saya.

Padahal mama saya ini sudah 73 tahun usianya. Meski masih perkasa, tetapi membawa beban seberat itu tentulah bukan pekerjaan yang ringan. Mama memang sempat berujar, kok saya jadi ngrepotin diri sendiri? Tapi saya yakin, bukan maksudnya menyesali semua itu. Saya tahu semua itu dilakukannya karena hatinya penuh cinta. Thanks mam!

Bicara tentang mama, terus terang beliau bukanlah tokoh favorit saya dalam hidup ini. Bahkan hampir separuh lebih dari hidup saya (dan mungkin juga hidupnya?) kami habiskan dalam saling tidak memahami satu sama lain. Mama dan saya sangat sering bertengkar, berselisih paham, bahkan saling menyakiti perasaan sesamanya. Kata orang karena karakter kami mirip. Ya, saya akui kami memang sama-sama keras.

Padahal jika dipikir-pikir, apa yang kurang dari mama? Beliau figur ibu yang sangat ideal. Semua tugas dan kewajibannya dilaksanakan dengan rapi, tekun dan disiplin. Mulai dari mengurus rumah supaya selalu rapi, indah dan bersih; mengurus suami dan anak-anak supaya tidak terlantar. Makanan yang selalu tersaji di meja tepat waktu dengan menu berganti supaya kami tidak bosan, dst.

Mama juga wanita yang terampil dalam segala hal. Mulai dari merangkai bunga, menjahit baju, memasak, hingga pekerjaan maskulin seperti bertukang dan mereparasi alat-alat elektronik.
Mama memang seorang pembelajar, selain ia juga seorang guru. Sebelum menikah dengan papa, mama dulunya seorang guru. Karena itu mama sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya.

Saya masih ingat, semasa SD pernah ada pelajaran IPS yang mengharuskan kami menghafal peta Indonesia. Di situ mama menyempatkan diri untuk menjiplak peta di buku (masa itu gambar peta Indonesia belum banyak dijual seperti sekarang) ke karton manila yang besar. Kemudian gambar tersebut digantungkan di dinding dan kami diajar cara menghafal nama-nama kota setiap daerah, sampai ngelotok lengkap dengan hasil buminya segala. Amboi, segitu perhatiannya! Itu baru salah satu contoh bagaimana mama mengajar kami.

Hebatnya mama bukan hanya mengajar secara teori. Tanpa saya sadari, sebetulnya ia banyak mengajar melalui cara hidupnya sendiri. Salah satu contohnya, dalam soal berbelanja.

Dulu semasa kecil, saya sering diminta menemani mama berbelanja ke pasar tradisional. Kami berangkat dari rumah dengan beca, kadang-kadang di siang hari saat matahari sedang terik-teriknya. Tiba di pasar dengan jalanan yang becek dan aromanya yang khas, saya menyaksikan mama dengan tanpa mengeluh terus menyusuri kios demi kios untuk membeli barang-barang belanjaan. Salah satu kebiasaannya adalah, ia pergi ke kios langganannya. Kemudian menyerahkan daftar belanjaan kepada pemilik kios agar mereka menyiapkan apa yang dibutuhkannya. Sementara itu mama akan pergi ke kios berikutnya untuk membeli belanjaan yang lain lagi. Nanti saat kembali ke kios yang pertama, semua barang sudah siap untuk dibawa pulang. Dulu saya tak mengerti, kenapa mama melakukan hal itu. Bahkan tak jarang sampai cukup lama saya dibiarkannya menunggu di kios pertama. Sekarang baru saya tahu, bahwa dengan cara itu secara tak langsung mama telah menerapkan time management agar semua itu berlangsung dengan efektif dan efisien.

Pelajaran lain yang saya petik dari soal belanja ini adalah bahwa ternyata butuh kesediaan dan kerelaan yang besar untuk seseorang mau berpeluh dan bersusah payah membawa belanjaan. Saya masih ingat saat membawa belanjaan yang berat ke luar pasar yang lumayan juga jarak tempuhnya bagi seorang anak kecil seumur saya. Meskipun demikian, saya tak pernah melihat mama bersungut atau mengeluh. Mama selalu terlihat bahagia dan menikmati hidupnya.

Memang dalam hal memotivasi diri mama adalah jagonya. Ia seorang motivator yang hebat. Maka tak heran, selalu ada tempat untuk meletakkan kepala ketika kami anak-anaknya kehilangan semangat. Selalu ada telinga untuk mendengarkan kami mengadu. Selalu ada hati untuk tempat mencurahkan isi kalbu. Selalu ada doa di saat kami membutuhkannya. Dan juga air mata berbagi rasa saat kami sedang dalam duka cita. Cinta mama kepada kami lah yang membuat kami anak-anaknya selalu bangkit kembali. Karena kami sadar, bahwa ada seseorang yang senantiasa membuka tangan dan hatinya untuk menerima kami kembali, sebesar apapun kekeliruan yang telah kami lakukan.

Mungkin Anda bertanya, bagaimana mungkin seorang Ibu yang sedemikian sempurna bisa membuat saya tak mengidolakannya?

Ya, karena selama ini saya tak mampu melihatnya dengan hati yang bersyukur atau hati yang penuh cinta. Sejak kecil saya selalu merasa mama tak memahami saya. Mama selalu tak sepaham dengan jalan atau cara yang ingin saya tempuh. Saya selalu merasa mama over dominant dalam mengatur hidup saya. Padahal saya ini seniman. Saya butuh berekspresi. Dan ini yang sulit diterima oleh mama saya yang well organized. Ketidaksepahaman yang semula kecil, perlahan berkobar menjadi pemberontakan. Dan entah sejak kapan kami seperti bermusuhan. Padahal bukan itu maksud saya. Saya hanya menginginkan jalan saya sendiri, that’s all.

Baru 3 tahun belakangan ini, saya melihat mama dengan mata berbeda, bermula dari ketika rumah tangga saya dilanda masalah yang cukup berat. Di situlah saya merasakan kasih mama yang benar-benar tulus. Mama tak banyak komentar, tapi saya merasakan dukungan doanya. Saya merasa dikuatkan dan seperti ada teman yang mendampingi meski di kejauhan. Tak dibiarkannya saya sendirian menanggung duka, meski itu karena pilihan saya sendiri (sebagaimana yang selalu saya inginkan). Mama tak mencela. Mama tak mengkritik, juga tak menyalahkan, meskipun secara pandangan dan keinginan kami jelas berbeda. Tapi ternyata cara itu justru membuat hati saya yang keras selama bertahun-tahun luluh seketika.

Ya, mama berubah. Saya pun berubah. Hubungan kami berubah. Cinta kami berubah. Kami tak lagi saling menuntut melainkan saling menerima satu sama lain dengan apa adanya.

Anda percaya, bahwa sejak 3 tahun yang lalu salah satu cita-cita saya adalah untuk membahagiakan mama di sisa hidupnya? Itulah komitmen saya terhadap diri sendiri. Mungkin mama tak tahu hal ini dan mungkin tak perlu tahu. Tapi yang jelas saya ingin dia tahu, bahwa dari dialah saya belajar cinta kasih yang sesungguhnya.

I love you, mam... with all my heart.

Rabu, 15 Agustus 2007

Belajar dari Para Pendahulu Kita

Menjelang peringatan hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus y.a.d, semalam Metro TV menayangkan kisah mantan pejuang kemerdekaan yang hidupnya saat ini begitu prihatin. Boro-boro memperoleh pensiun, diperhatikan oleh Pemerintah saja tidak.

Entah kenapa, tiba-tiba saya membayangkan seandainya saya yang menjadi Bapak itu. Di zaman perang dengan segala keterbatasan, terus berjuang tanpa pamrih, asalkan merdeka. Hidup ala kadarnya, bahkan sering tak memikirkan nasib keluarga bahkan nyawanya, yang utama adalah kepentingan bangsa dan negara. Kini saat seharusnya ia boleh berbangga akan hasil perjuangannya, menikmati apa yang diperjuangkannya, ia justru melihat generasi penerusnya sibuk mementingkan perut sendiri, saling sikat dan sikut ke sana kemari. Kemerdekaan yang semestinya dinikmati bersama oleh para tetua, justru bagai pisau membelah dada. Baca: menyakitkan! Menorehkan luka!

Di sinilah saya menjadi sadar, pentingnya untuk terus menjalin hubungan emosi dengan para pendahulu kita. Bukan hanya dengan keluarga kita, tapi juga sebagai satu bangsa.

Yah, mungkin tanpa kita sadari kesibukan sehari-hari telah membuat kita abai. Bukan saja pada orang tua kita sendiri, juga kepada para tetua bangsa. Sering keegoisan kita menuntut untuk lebih memperhatikan diri sendiri ketimbang mereka.

Bicara tentang para pendahulu, bukan hanya tentang orang yang lebih tua, tetapi siapa saja yang sudah berjalan mendahului kita. Kita pantas menghormatinya dan angkat topi bagi mereka. Kenapa? Karena paling tidak mereka memiliki keberanian yang lebih daripada kita (meskipun secara usia lebih muda dari kita). Mereka sudah berhasil mengalahkan ketakutan lebih dulu daripada kita. Ya, para pendahulu adalah orang-orang yang berani melangkah lebih dulu dari sesamanya. Itu menunjukkan kebesaran jiwa, kemurahan hati dan kebijaksanaan dari sang empunya. Sementara mereka yang masih tertinggal di belakang, yang masih bergelayut dengan kekuatiran dan ketakutan mereka, menunjukkan betapa kerdil dan egoisme yang masih mengakar di dalam dirinya.

Para pendahulu, bagaimana pun pantas disejajarkan dengan kapasitas dan kualitas seorang pembimbing. Mereka yang membukakan jalan untuk kita, menjadi prototipe kita, mendampingi, mengajar, melindungi bahkan mungkin bertaruh nyawa untuk kita.

Bicara soal pembimbing, di alam roh sebagaimana yang digambarkan oleh Dr. Michael Newton juga ada roh-roh yang ditunjuk sebagai roh pembimbing. Berikut cuplikannya:

Pengenalan akan guru spiritual membuat orang menyatu dengan kuasa kreatif yang hangat dan penuh cinta. Melalui roh pembimbing, kita menjadi sadar terhadap kelanjutan hidup dan identitas kita sebagai mahluk roh. Roh pembimbing adalah sosok yang agung dalam keberadaan kita, karena mereka adalah bagian dari pemenuhan takdir kita. (hal 149)

(Kadang-kadang) gagasan yang kita akui sebagai gagasan kita sendiri boleh jadi berasal dari roh pembimbing yang peduli. Roh pembimbing juga menghibur kita selama masa-masa pencobaan dalam hidup kita, terutama pada saat kita masih menjadi kanak-kanak yang membutuhkan dukungan. (hal 151)

Selama hidup, terutama pada masa-masa yang paling berat, sebagian besar orang merasakan kehadiran seseorang yang menjaga mereka. Walaupun mungkin kita tidak dapat menjelaskannya, tetapi kuasa itu nyata ada (hal 169).

Selama masa-masa sukar, kita cenderung meminta bimbingan agar masalah terselesaikan...
Roh pembimbing tidak membantu mengatasi semua persoalan secara sekaligus, namun menunjukkan jalan dengan menggunakan berbagai petunjuk (hal 170)

Bagaimana cara mengenal roh pembimbing kita?

Seseorang bisa mengenal roh pembimbingnya dalam kondisi trans, terhipnosis, atau berada pada gelombang alpha/theta saat meditasi, dan bahkan mati suri.


Orang yang sering bermeditasi biasanya sudah tak asing lagi dengan penglihatan atau perasaan tentang adanya sosok tak berwujud itu (hal 149).

Apabila kita berada dalam kondisi relaks dan fokus yang tekonsentrasi, suara batin akan berbicara pada kita... Orang yang menyimak dan menerima suara batin mereka melalui kontemplasi yang hening mengaku memperoleh rasa aman dan damai... (hal 170)
(karena memang salah satu karakteristik paling penting yang dimiliki roh pembimbing adalah... kemampuan untuk memotivasi dan membangkitkan keberanian kita... hal 158. pen.)

Meski demikian, Newton mendapati bahwa sekalipun ada roh pembimbing, jalan hidup kita tetaplah kita sendiri yang menentukan. Berikut kutipan wawancaranya dengan salah seorang subyek yang dihipnosis olehnya (hal 372):

Dr. N : Dalam hidupmu, pernahkah kamu melakukan kesalahan dan memilih jalur yang salah, serta melewatkan bendera yang dilambaikan (maksudnya: petunjuk. pen) di jalan seputar pindah kerja, pindah kota, atau bertemu seorang yang berarti....?

S: Petunjuk selalu diberikan. Tetapi terkadang aku sendirilah yang menolak...kehendak hatiku. Ada masa-masa dalam hidupku saat aku berganti arah karena aku terlalu banyak berpikir dan beranalisis....

Dr. N : O, jadi kamu bisa saja melakukan sesuatu yang berbeda dari yang sudah direncanakan di alam roh?

S: Ya, walaupun tidak akan membawa hasil yang positif... setidaknya kami diberi hak untuk mengabaikan bendera merah.

Pada wawancaranya yang lain (hal 364), membahas tentang pertemuan di bumi dari kelompok roh yang sudah berencana di alam roh tersebut:

S: Itulah mengapa kami dipertemukan. Akan ada saat-saat dalam hidupku ketika mereka muncul. Aku harus berusaha... mengingat tindakan mereka...cara mereka memandang... bergerak ... berbicara...
Petunjuk dimaksudkan untk memicu ingatan kita dan menginformasikan, "Bagus, kamu sudah sampai". Didalam batin, kita bisa berbicara pada diri sendiri "Kini saatnya memasuki fase selanjutnya". Walaupun tampaknya sepele, bendera itu adalah titik balik dalam kehidupan kita...

Nah, lo... ngomongin soal para pendahulu kok jadi cerita detail soal roh pembimbing dan petunjuk segala....

Ya, bagi saya ini penting untuk diperjelas, agar hidup kita semakin sarat dengan penghargaan terhadap mereka yang telah mendahului kita, para pembimbing kita. Ketika kita tahu panggilan mereka adalah untuk mengarahkan agar kita tak tersesat atau membuang-buang waktu berada di jalan yang salah, maka kita akan lebih dimampukan untuk meng"orang"kan mereka.

Nah, akhirnya... selamat berkenalan dengan roh pembimbing Anda. Selamat menghargai para pendahulu kita. Selamat merayakan hari Kemerdekaan Negara Rrepublik kita yang tercinta. Merdeka!

Selasa, 14 Agustus 2007

Menjadi Pembelajar Kehidupan

Ketika seseorang memasuki situasi dan kondisi yang baru, apa yang pertama-tama harus dilakukannya?

Ya, benar... ia perlu BELAJAR!

Ciri kehidupan adalah selalu BERGERAK dan BERUBAH. Dan setiap perubahan mengisyaratkan adanya sesuatu yang berbeda dari sebelumnya, dan itu butuh dipelajari.

Sebelum masuk SD, saya belum tahu apa itu berhitung dan membaca. Saya baru mengetahuinya ketika saya berubah status menjadi murid SD dan mulai belajar tentang angka dan abjad. Demikian seterusnya sampai setiap kali saya naik tingkat, dari dasar ke menengah, menengah ke level atas, kemudian ke jenjang S1, saya harus terus menerus belajar dan menyesuaikan diri dengan pelajaran yang ditargetkan. Itu contoh belajar di sekolah secara institusi. Bagaimana dengan sekolah kehidupan?

Sepanjang dunia masih terus bergerak dan berubah, yang namanya belajar tak akan pernah berhenti. Saya pernah baca sebuah buku, kalau tidak salah judulnya Strategi Kebudayaan. Di situ dituliskan bahwa salah satu dorongan (alami) manusia selain untuk mempertahankan hidupnya adalah untuk menjelajah (explore) dunia. Ada hasrat selalu ingin tahu dan mencari tahu. Ingin menyelidiki dan meneliti, terutama yang berkaitan dengan alam dan manusia itu sendiri. Jadi dari sini kita tahu, bahwa belajar itu sudah bawaan alami manusia. Belajar bukan hanya perlu tetapi mutlak. Belajar atau mati! Kalau Anda tidak mau belajar, Anda akan mati lebih dini karena tak bisa menyesuaikan diri. Itu sesuai hukum evolusi dari Darwin bukan?

Ciri seorang pembelajar (versi saya) adalah: rendah hati; tidak malu bertanya; tidak takut mencoba; tidak takut gagal; terus mencari tahu dengan antusias; mengamati (observasi) dan tidak mencari kambing hitam. Kebanggaan seorang pembelajar sejati adalah: kemenangan di dalam diri. Lho kok?

Ya, karena pertarungan yang sesungguhnya terjadi di dalam diri. Jangan sibuk menyalahkan setan kalau Anda melakukan perbuatan amoral. Jangan sibuk menyalahkan orang lain kalau Anda gagal. Menang atau kalah itu semua sudah Anda tentukan sendiri di dalam diri.

Bagi seorang pembelajar, semua yang ada di sekitarnya adalah Guru. Apakah itu pasangan kita, anak-anak kita, orangtua kita, atasan atau bawahan kita, rekan kerja kita, tukang ojek yang mengantar jemput kita, tukang sayur yang lewat di depan rumah kita, pembantu kita, sopir angkot, kasir di supermarket, klien kita, artikel dari website atau blog tertentu, buku-buku, bahkan film dan acara yang ditayangkan di TV. Semua bisa jadi guru kita, tergantung dari cara kita memandang dan menarik pelajaran darinya. (Saya sendiri tidak hobi nonton film di TV. Tapi setiap kali akhirnya tertarik nonton, itu karena di hati seperti ada dorongan untuk terus nonton film tersebut sampai selesai. Di akhir cerita barulah saya tahu, bahwa ternyata ada pesan moral tertentu yang perlu saya pelajari dari film tersebut).

Dalam setiap perjumpaan kita dengan seseorang atau sesuatu, itu pasti ada maksudnya, karena alam tidak mengenal istilah "kebetulan". Alam bekerja berdasarkan hukum sebab akibat. Saya sendiri setiap kali bertemu atau berkenalan dengan seseorang selalu secara otomatis bertanya, Mengapa saya harus bertemu dengan dia? Untuk apa? Apa yang harus saya pelajari dari orang ini? Atau ketika diperhadapkan pada satu masalah/ peristiwa, saya selalu bertanya apa yang harus saya pelajari dari peristiwa ini? (hehehe..., mungkin karena kategori kepribadian saya versi MBTI adalah INTJ (Introvert - Intuitive - Thinking & Judging, ya?).

Nah, jadi jelas kan... kalau kita ingin maju, nggak ada gunanya menyalahkan orang lain. Karena dengan cara itu, kita sudah menutup jalan untuk mengetahui lebih banyak lagi suatu pelajaran yang semestinya kita dapatkan.

Di postingan saya sebelum ini, pernah saya singgung tentang bagaimana kita perlu mengubah cara kita bereaksi. Stephen R. Covey dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective People menuliskan secara detail perbedaan sikap reaktif dan proaktif.

Orang yang reaktif seringkali dipengaruhi oleh lingkungan fisik mereka. Jika cuaca bagus, mereka merasa senang. Jika tidak, cuaca itu mempengaruhi sikap dan prestasi kerja mereka... Ketika orang memperlakukan mereka dengan baik, mereka merasa senang, jika sebaliknya mereka menjadi defensif atau protektif...
Orang yang reaktif membangun kehidupan emosional mereka di sekitar perilaku orang lain, memberi kekuatan pada kelemahan orang lain untuk bisa mengendalikan mereka...
Orang yang reaktif digerakkan oleh perasaan, oleh keadaan oleh kondisi, oleh lingkungan mereka.

Sementara orang yang proaktif dapat mengatur cuaca mereka sendiri. Entah hari hujan atau cerah tidak ada bedanya bagi mereka. Mereka digerakkan oleh NILAI; dan jika nilai mereka adalah untuk menghasilkan kerja yang berkualitas, maka nilai ini bukanlah suatu fungsi dari cuaca yang mendukung atau tidak...
Kemampuan untuk menomorduakan impuls sesudah nilai merupakan inti orang yang proaktif.
Orang yang proaktif digerakkan oleh nilai-nilai yang sudah dipikirkan secara cermat, diseleksi dan dihayati.
Orang yang proaktif tetap dipengaruhi oleh stimulus luar, namun respons mereka terhadap stimulus tersebut sadar atau tidak didasarkan pada pilihan atau respons yang berdasarkan nilai tertentu.

Mungkin menjadi proaktif adalah jenjang pertama yang perlu kita pelajari dalam hidup ini sebelum memasuki jenjang berikutnya dari sekolah kehidupan. Tetapi jujur saja untuk menjadi proaktif ternyata sulit banget terutama buat orang-orang seperti saya yang cenderung impulsif dan reaktif ini, hehehe... Butuh latihan yang terus menerus dan bertahun-tahun, bahkan mungkin selamanya agar bisa memiliki karakter seperti ini. Tapi jangan menyerah. Meskipun saya sendiri belum berhasil, paling tidak ada progress-nya lah... (hahaha, menghibur diri kan tidak dilarang...).

Sebelum menutup postingan, ada sebuah pesan yang sangat inspiratif dari ibu Eleanor Roosevelt (mantan Ibu Negara Amerika Serikat) yang bunyinya demikian :

Tak seorang pun dapat menyakiti Anda tanpa persetujuan Anda.

(Maksudnya kalau kita merasa terluka, sebenarnya bukan orang lain yang membuat kita terluka, tapi kita-lah yang mengizinkan hal itu menjadi luka)

OK, sampai jumpa pada postingan berikutnya.

Senin, 13 Agustus 2007

Makna Penderitaan

Bagaimana cara kita sebagai mahluk spiritual bisa mencapai pencapaian tertinggi kita, yakni menjadi pribadi yang matang, bijaksana, tidak egosentris dan memiliki orientasi yang global universal?

Jalan satu-satunya untuk menuju ke sana adalah jalan PENDERITAAN.

Gambar pohon dengan batang dan akarnya yang kuat di samping ini menunjukkan betapa tanaman ini telah mengalami berbagai "ujian" dari alam untuk bisa bertahan hidup. Pohon yang bisa tumbuh sekokoh ini pasti sudah mengalami deraan angin kencang, hujan badai, kekeringan, dan berbagai peristiwa alam lainnya.

Kita sebagai manusia juga begitu. Kadang kita tak mengerti kenapa kita harus mengalami itu dan ini. Tapi suatu ketika nanti baru kita sadari, bahwa kita bukanlah yang dulu lagi. Ketika suatu ujian berhasil kita lalui, kita menjadi manusia yang lebih kuat, lebih tegar dan lebih bijaksana dalam menyikapi hidup.

M. Scott Peck, dalam bukunya yang sangat terkenal The Road Less Travelled menuliskan demikian:

Hidup itu sulit.
Hidup memang merupakan rentetan masalah.

Sebenarnya yang membuat hidup kita menjadi lebih sulit adalah bahwa proses menghadapi dan mengatasi masalah-masalah itu merupakan penderitaan tersendiri...
Ini sebenarnya karena rasa sakit yang ditimbulkan oleh kejadian atau pertentangan yang ada di dalam diri kita sendiri. Inilah yang kita sebut masalah.

Justru dalam proses menghadapi dan mengatasi masalah itulah hidup kita mempunyai makna. Masalah adalah garis pemisah antara keberhasilan dan kegagalan....

Sebenarnya dapat kita katakan bahwa masalah itulah yang menciptakan keberanian dan kebijaksanaan kita. Hanya karena adanya masalah itulah kita bisa bertumbuh dewasa secara mental dan spiritual...

Seperti yang dikatakan Benyamin Franklin, "Hal-hal yang menyakitkan itu memberi pelajaran tertentu".
Inilah alasannya mengapa orang-orang bijaksana selalu belajar untuk tidak takut akan masalah, tetapi justru mau menghadapinya dan mau menerima penderitaan dari masalah tersebut.

Sungguh kata-kata yang sangat menggugah. Terutama bagi saya yang sejak kecil sangat takut terhadap penderitaan. Sungguh, jika boleh saya selalu ingin lari dari penderitaan. Dan itulah yang selalu saya lakukan sampai usia saya yang ke-30. Itulah yang menyebabkan saya tak kunjung beranjak dewasa, secara mental dan spiritual :-) hahaha...
Tapi dari usia 30 hingga sekarang, saya tak bisa lari dan lari lagi setiap waktu. Yaitu sejak saya menikah. Nah, lo... menikah ternyata membawa saya ke "jurang penderitaan" tetapi sekaligus membentuk karakter saya menjadi lebih kokoh dan tegar.

(Bagi yang belum menikah, jangan takut... karena surga atau neraka dalam kehidupan pernikahan kita, kita sendirilah yang menentukan dan menciptakannya... :))

Selanjutnya dari Dr. Peck, ada alat yang paling hakiki yang kita butuhkan untuk mengatasi masalah hidup yakni dengan DISIPLIN.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan sarana, teknik, cara menderita yang konstruktif yang biasa disebut dengan DISPILIN itu? Dr. Peck menyebutkan ada 4 unsur yaitu:

  1. Menunda kepuasan
  2. Menerima tanggung jawab
  3. Menjunjung tinggi kebenaran dan
  4. Menyeimbangkan
Kemauan untuk mempergunakan sarana itu adalah CINTA.
Bila kita mencintai sesuatu, itu artinya hal itu ada maknanya bagi kita. Dan bila sesuatu itu bermakna bagi kita, kita akan menyediakan waktu untuknya, mengaguminya dan memeliharanya.

Saya jadi ingat, apa yang saya anggap bermakna bagi saya saat ini adalah anak saya Lelatu Di Hening. Meskipun statusnya adalah anak, tetapi bagi saya dia adalah guru saya dalam kehidupan ini. Karena cinta saya yang begitu besar kepadanya, saya sampai mau melakukan hal-hal yang tadinya sangat saya takuti. Atau membuang kebiasaan buruk yang semula saya enggan mengubahnya.
Contoh, saya tidak suka matematika sejak kecil. Tapi karena Latu sudah sekolah sekarang dan mau tak mau saya harus membimbingnya belajar matematika, maka saya harus mau berhadapan dengan pelajaran yang tak saya sukai tersebut. Dengan sedikit memaksakan diri saya belajar sempoa. Kemudian kami bermain sempoa bersama. Tanpa terasa, tiba-tiba saya sudah menikmati cara berhitung dengan sempoa.
Memasuki kelas 2 SD, Latu akan belajar perkalian. Jauh-jauh hari saya sudah mempersiapkan diri. Kebetulan ada buku baru dari Bapak Adi W. Gunawan: Cara Genius Menguasai Tabel Perkalian. Langsung saya beli buku itu dan saya terapkan belajar bersama dengan Latu. Ternyata pembelajaran berlangsung dengan mudah dan menyenangkan. Yang lebih spektakuler lagi, saya berhasil mencari cara menghitung sendiri yang tidak disebutkan dalam buku itu. Waow, senangnya....., sudah berhasil mengalahkan ketakutan, dapat bonus pula menemukan cara baru dalam menghitung perkalian. Terimakasih pak Adi...
Padahal kalau dulu setiap menghadapi hal yang menakutkan begini, saya pasti lari... (Itu yang membuat saya benci matematika sampai tua... hahaha...)

Yah, itulah kekuatan CINTA yang katanya: Beareth all things, believeth all things, hopeth all things, endureth all things. CINTA itu menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.

Mudah-mudahan kita semua diberkahi untuk mempunyai cinta yang sejati seperti ini.

Salam,

Jumat, 10 Agustus 2007

Karakter Yang Matang

Kita sudah bicara tentang diri kita sebagai mahluk spiritual. Kita juga sudah bicara tentang tujuan akhir dari keberadaan kita di alam semesta ini, yakni pertumbuhan karakter kita. Pertanyaan selanjutnya adalah, bertumbuh sampai menjadi apa?

Kita semua tahu hukum pertumbuhan di bumi ini. Saat benih tanaman ditaburkan dan berkolaborasi dengan unsur hara di dalam tanah, ia pun mulai bertumbuh. Mula-mula akarnya, kemudian batang, daun dan bunga. Puncak pertumbuhan suatu tanaman adalah ketika ia menghasilkan buah, dan buah itu pun masih terus bertumbuh, dari kecil dan muda menjadi besar dan matang. Keadaan buah yang matang ini siap dinikmati (baca: memberikan dirinya) untuk pihak lain. Buah yang matang pun ada bermacam-macam kualitasnya. Kualitas unggul tentu lebih diincar oleh penikmatnya. Jadi, pencapaian tertinggi dari suatu tanaman adalah menghasilkan buah yang matang dan berkualitas unggul.

Demikian juga kita sebagai mahluk spiritual, pencapaian tertinggi kita adalah mempunyai karakter yang matang dan unggul. Seperti digambarkan oleh Dr. Michael Newton dalam Journey of Souls, kelompok roh juga terdiri dari kelas-kelas tertentu sesuai tingkat kematangannya. Ada roh yang belum matang; roh menuju matang dan roh yang matang. Roh yang belum matang mempunyai sasaran transformasi terdekat menjadi roh menuju matang. Roh menuju matang selanjutnya akan terus memperbaiki diri agar menjadi roh yang matang, dst.

Newton dalam buku versi Indonesianya, hal 242 menuliskan:

Beberapa indikasi dari roh yang matang adalah memiliki kesabaran terhadap masyarakat dan menunjukkan kemampuan menangani sesuatu dengan luar biasa. Yang paling menakjubkan adalah wawasan mereka yang begitu mendalam..... Mereka bisa dijumpai dalam semua jalan kehidupan, tetapi seringnya dalam profesi pelayanan atau menentang ketidakadilan dalam masyarakat dengan gayanya sendiri-sendiri. Tanpa dimotivasi oleh mencari keuntungan pribadi, mereka mungkin mengabaikan kebutuhan fisik mereka sendiri dan menjalani hidup yang tarafnya di bawah rata-rata...

Newton memberi contoh roh yang matang ini salah satunya adalah Mother Teresa, yang...
tanpa memperlihatkan kelebihan diri, pencapaian mereka bersumber pada upaya memperbaiki kehidupan orang lain. Mereka tidak begitu berfokus pada masalah institusional, namun lebih pada peningkatan nilai-nilai individu.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana menjadi roh yang matang?
Menurut Newton (hal 354) : Kita tidak perlu mengubah siapa diri kita dalam kaitannya dengan pengalaman hidup, namun kita perlu mengubah reaksi negatif kita terhadap peristiwa negatif yang ada.

Wah, kata-kata terakhir ini sungguh powerful. Saya jadi teringat postingan Jennie S. Bev tentang A Message of Gratitude tanggal 3 Agustus 2007 yang lalu:

Setiap hari pasti ada yang saya syukuri, walaupun kadang-kadang terasa “tidak ada apa-apa yang bisa disyukuri,” jika sedang bete habis. Tapi kalau dipikir-pikir, pasti ada. Hal-hal kecil yang kelihatannya biasa-biasa saja, sering kali merupakan sesuatu yang istimewa. Just think and feel it, you’ll find it.

Ini salah satu contoh bagaimana bereaksi positif terhadap peristiwa negatif yang sedang dialami (Thanks Jen).

Saya ingin menutup postingan hari ini dengan sekali lagi mengutip tulisan Newton hal 181:

Jika kita menjadi marah, benci dan bingung oleh berbagai situasi kehidupan, hal itu tidak lantas berarti bahwa kita memiliki roh yang belum berkembang. Perkembangan roh adalah persoalan rumit di mana kita semua maju setingkat demi setingkat di bidang dan pendekatan yang berbeda-beda. Yang penting bagi kita adalah: mengenali kesalahan, menghindari penyangkalan diri dan memiliki keberanian serta kemampuan untuk melakukan penyesuaian yang terus menerus dalam hidup.

Semoga kita semua terus bergerak dan bertumbuh menjadi pribadi yang matang dan unggul sehingga keberadaan kita dapat menjadi manfaat bagi orang lain dan lingkungan di sekitar kita.

Salam,

Kamis, 09 Agustus 2007

Kita Mahluk Spiritual

Dalam usaha menemukan takdir saya, satu hal yang menjadi titik berangkat saya adalah: We are not a human being and having a spiritual experience. But we are a spiritual being and having a human experience).

Itu berarti jangan pusing dengan "kemasan" kita saat ini, tetapi berjuanglah untuk sesuatu yang lebih abadi, yakni tujuan hidup yang berkaitan dengan keberadaan kita sebagai mahluk "roh". Kenali dulu sifat dan karakteristik diri kita sebagai mahluk roh, niscaya kita bisa lebih mudah menemukan arti dan tujuan hidup kita di dunia saat ini.

Saya sangat tertolong dengan buku Journey of Souls dari Dr. Michael Newton, yang memaparkan hasil risetnya tentang kehidupan alam roh melalui cara Past Life Regression. Buku ini mungkin akan memicu kontroversi tentang ada atau tidaknya reinkarnasi. Tetapi bukan itu tujuan saya mengulasnya di sini, melainkan informasi mengenai kehidupan sebelum kita diwujudkan menjadi manusia di bumi ini.

Di buku ini dipaparkan bahwa ketika sesosok mahluk roh katakanlah beridentitas X hendak "diturunkan" ke bumi, ia diminta untuk menganalisa dan menentukan sendiri ia ingin turun menjadi siapa dan apa yang ingin ditujunya. Biasanya tujuan ini berkaitan dengan pertumbuhan karakternya.

Contoh, si X ini ingin mencapai karakter yang sabar dan tahan menderita. Maka ia dan anggota kelompoknya mengajukan usulan ini ke dewan Tua-tua. Jika disetujui, maka dibuatlah semacam skenario, misalnya ia akan lahir sebagai perempuan bernama Ester. Sementara anggota kelompok yang lain ada yang ditentukan menjadi Ayah, Ibu, suami, maupun anak si Ester. Semuanya bersatu dan berkomitmen untuk mewujudkan tujuan Ester menjadi lebih sabar dan tahan menderita. Dalam perannya nanti, mungkin saja Ibu dari Ester jadi tokoh antagonis. Ayah jadi tokoh protagonis. Tapi sekali lagi, semuanya mempunyai satu tujuan yang sama yang sejak awal sudah direncanakan. Pokoknya mirip dengan ketika kita ingin mengadakan pertunjukan drama. Ada yang berperan sebagai X, ada yang sebagai Y, dst, dengan satu tujuan mementaskan drama dengan lakon tersebut.
Mirip kan dengan lagunya Ahmad Albar, dunia ini panggung sandiwara....? :-)

Itu sebabnya di awal tulisan ini saya sarankan untuk tidak terlalu pusing dengan kemasan atau label. Karena kemasan atau label itu semudah kita mengganti baju peran kita di panggung drama. Saya bernama Ester atau bernama Ani, itu tak ada hubungannya dengan pertumbuhan karakter kita. Saya bekerja sebagai manager atau sebagai penyapu jalan, selama itu tak ada kaitannya dengan pertumbuhan karakter saya, itu tak ada gunanya. Tapi jika sebagai manager saya jadi punya kesempatan untuk ikut pelatihan yang mencerahkan dan membuat kebiasaan marah dan suka menggerutu saya menjadi berkurang bahkan hilang, maka peran manager itu cukup besar nilainya dalam perjalanan hidup saya.

Jadi yang paling penting menurut saya, kita harus mencari tahu, ketika kita dilahirkan ke bumi itu untuk belajar apa.

Rick Warren, penulis buku best seller Purpose Driven Life Dalam sebuah wawancara dengan Paul Bradshaw, mengatakan:

Orang-orang bertanya kepada saya, apa tujuan dari hidup? Dan jawab saya: hidup adalah persiapan untuk kekekalan. Suatu hari jantung saya akan berhenti, dan itu akan menjadi akhir dari tubuh saya tapi bukan akhir dari saya. Allah menginginkan kita melatih di dunia apa yang akan kita lakukan selamanya dalam kekekalan.

Hidup adalah sebuah seri dari masalah-masalah. Alasan untuk ini adalah: Tuhan lebih tertarik kepada karaktermu daripada kesenangan / kenyamanan hidupmu. Tuhan lebih tertarik untuk membuat hidupmu suci daripada membuat hidupmu senang. Kita bisa cukup senang di dunia, tapi itu bukanlah tujuan dari hidup. Tujuannya adalah pertumbuhan karakter.

Dengan demikian, siapa orangtua kita, kakak, adik, suami/istri, anak-anak kita; seperti apa keadaan dan karakter mereka; apa pekerjaan dan jabatan kita saat ini; mengapa saya harus bekerja di perusahaan A dengan atasan si X, dll, sebenarnya tak perlu dipersoalkan. Mereka ada dan dipertemukan dengan kita mungkin justru sebagai fasilitas untuk membantu kita mencapai pertumbuhan karakter kita yang tertinggi. Jadi, jangan pernah marah atau kecewa jika mereka tidak sesuai dengan harapan kita. Cobalah berpikir terbalik, jika seseorang mengecewakan kita, mungkin tujuan akhirnya adalah supaya kita menjadi lebih sabar, tidak mudah marah dan tidak gampang kecewa. So, seperti kata Jennie S. Bev.... syukuri saja...!!!

Sedikit cuplikan dari tulisan Newton versi Indonesia (hal 353):

Memahami diri sendiri secara spiritual berarti memahami alasan kita memasuki kehidupan bersama roh orangtua, saudara, pasangan dan sahabat... Ingatlah bahwa selain menerima pelajaran, kita juga hadir di bumi untuk turut berperan dalam drama pelajaran orang lain.

Salam,

Selasa, 07 Agustus 2007

Belajar dari para Tokoh

Ada sedikit masukan dari rekan saya mengenai tulisan "Sang Alkemis" di awal blog ini. Wah... yang belum baca bukunya nggak tau dong maksudnya.., begitu katanya.

Memang "Sang Alkemis" adalah novel sastra yang indah dan sarat dengan simbol-simbol yang bikin orang mengernyitkan dahi jika tidak memahami maksudnya. Namun sesungguhnya filosofi kehidupan yang termaktub di dalamnya sangat riil dan lumrah kita jumpai dalam hidup sehari-hari. Apa yang dialami oleh Santiago (tokoh utama dalam cerita ini) sangat dekat dengan pengalaman kita sendiri. Dan karena hidup adalah PILIHAN, maka mari belajar dari Santiago untuk mengelola pilihan-pilihan yang diperhadapkan kepada kita setiap harinya, bahkan setiap detiknya. Bagi yang gemar mempertanyakan makna diri serta makna kehidupan, buku ini benar-benar memberikan inspirasi yang mencerahkan.

Saya memahami, bahwa tidak setiap orang (tergantung tipe dan karakteristiknya) senang mempertanyakan dan mencari tahu apa tujuan hidupnya atau apa yang menjadi takdirnya. Mungkin sebagian orang lebih suka "menikmati hidup" daripada memusingkan tentang maknanya.
Sebagian lagi mungkin memilih untuk langsung action saja dalam hidup ini daripada berlama-lama memikirkan filosofinya.

Namun dari semua tipe kepribadian yang ada di muka bumi ini, saya yakin ada satu kesamaan. Yaitu bahwa hidup ini memiliki tujuan. Kita hidup di dunia ini bukan suatu kebetulan.

Terus terang saya pribadi bukan tipe yang percaya bahwa kita lahir untuk bersenang-senang menikmati hidup semata. Kalau demikian halnya hidup, kenapa ada penderitaan? Kenapa kita harus berjuang jika mengingini sesuatu dan tidak bisa langsung memperolehnya?

Lantas jika hidup ini memiliki tujuan, apakah tujuan itu?

Banyak orang pikir, menjadi kaya raya adalah tujuan manusia hidup di dunia. Dengan kekayaan yang dimilikinya, seseorang bisa mendapatkan apa saja yang dia mau. Sayangnya, kaya raya di sini sering disamakan konotasinya dengan uang dan harta benda. Jadilah orang berlomba-lomba mengejar uang dan harta sebagai salah satu pencapaian tujuan hidupnya.

Well, tapi di sini saya ingin berbagi, bahwa ternyata uang dan harta bukanlah segalanya. Saya sering memikirkan dengan serius para tokoh dunia yang besar bukan karena uang atau hartanya. Mahatma Gandhi yang saat meninggal hanya memiliki 1 pasang sandal, 1 alat tenun sederhana dan 1 perangkat alat makan. Mother Teresa yang semasa hidupnya hanya punya 2 pasang baju sari murahan, satu dicuci dan satu lagi dikenakan. Nelson Mandela, yang selama 27 tahun meringkuk di penjara namun akhirnya keluar sebagai pemenang....
Nyata bukan bahwa tak satu pun dari mereka besar karena uang atau hartanya?
Mereka justru besar karena PENDERITAAN!

Saya juga sering mempelajari kitab suci, bukan karena sok religius atau apa, tapi di situ saya belajar mengenai tokoh-tokoh. Dua tokoh favorit saya adalah Yusuf yang selama 13 tahun di penjara tanpa alasan yang jelas, namun akhirnya menjadi Perdana Menteri di Mesir. Yang kedua adalah Musa, yang menghabiskan 80 tahun masa hidupnya di padang gurun demi mendampingi perjalanan sebuah bangsa besar menuju tanah impiannya. Mengapa Yusuf harus dipenjara dulu sebelum menjadi pemimpin di Mesir? Kenapa Musa harus bersusah payah hidup di padang gurun sementara semestinya ia bisa enak-enak tinggal di istana Raja?

Dari perenungan-perenungan semacam itulah akhirnya saya menemukan hubungan antara: tujuan hidup - penderitaan - kebesaran (bahasa populernya: kesuksesan).
Dan jika saya rampatkan dalam 1-2 kata, kata kuncinya adalah: Pertumbuhan KARAKTER.
Ya, segala peristiwa suka dan duka yang kita alami selama hidup ini tujuannya adalah pertumbuhan karakter kita. Sementara kendaraan untuk menuju ke sana adalah: BELAJAR.

Saya tidak mengatakan bahwa uang atau harta tidak penting atau tidak perlu. Tapi kalau kita lantas tidak bisa hidup tanpa uang dan harta, itu yang keliru. Atau ketika kita punya uang dan harta, tapi kita tidak belajar apa-apa dan tidak bertumbuh karakter kita karenanya, maka hidup kita juga sia-sia alias tak ada gunanya.

Harta kita yang terbesar adalah spirit (semangat) kita. Viktor Frankl yang bisa bertahan di camp tahanan Nazi Jerman, Pramoedya Ananta Toer yang bisa bertahan di pembuangannya di pulau Buru, Nelson Mandela yang bisa bertahan 27 tahun di penjara, semua dimungkinkan karena kekuatan spirit mereka.

Pertanyaannya: apakah kita sudah menyadari kedahsyatan spirit itu di dalam diri kita?

Salam.

Senin, 06 Agustus 2007

Stop Press!

Sebelum mulai postingan berikutnya, saya ingin cerita sedikit, bahwa hari Jumat yang lalu saya mendapat beberapa kejutan. Yang pertama, e-mail dari Jennie S. Bev yang ternyata tanpa sengaja menemukan blog saya ini (mungkin dengan postingan lama yang sudah saya hapus), dan mencantumkan nama saya pada postingannya. Yang bikin saya terkejut, karena blog ini bener-bener baru banget, baru berusia 2 hari, bahkan saya pikir belum sempat kelacak sama mas Google. Tapi ternyata Jen lebih cepat dari Google (hahaha... becanda), menemukan saya di tengah hutan belantara para blogger. Wah, bener-bener kejutan yang menyenangkan dan membanggakan.

Kejutan berikutnya, ketika saya buka blog saya, ternyata sudah ada 2 pengunjung yang menyempatkan diri untuk mampir. Wow, sungguh senang sekali... welcome ya friends....

Sayangnya, nih... keinginan saya untuk menjawab komentar dan menulis postingan baru tidak bisa terlaksana Jumat yang lalu, karena tiba-tiba hubungan dengan mas Google mengalami gangguan. Dan baru pagi ini bisa nyambung lagi. Karena itu mohon maaf banget buat Rika Pb dan satu teman lagi (Anonim) yang baru bisa saya sapa hari ini.

Selain itu, ada alasan khusus kenapa saya baru menulis lagi pagi ini. Mungkin para pengunjung nggak tau ya bahwa saya ini gaptek abis.. hahaha... termasuk dalam membuat blog ini. Maka dari itu, mohon maklum kalau blog-nya masih sepi, habis belum tau gimana caranya bisa bikin yang begini dan begitu..., contohnya seperti nge-link ke blog lain, menampilkan jendela komentar supaya bisa interaktif, dll...

Untuk itu, buat yang sudah menyampaikan komentar, sementara saya jawab di sini aja dulu, ya? Gak papa kan?

Terimakasih untuk Anonim yang komentarnya bagus banget:
Menurut pendapat saya (sori kalo keliru ya) yang namanya mimpi itu adalah pekerjaan subconscious mind kita. Dan karena subconscious mind itu tidak terbatas oleh ruang dan waktu, jadi ya mungkin-mungkin saja apa yang kita bayangkan, imajinasikan, impikan, niatkan, batinkan saat ini bisa jadi kenyataan dalam hitungan detik, menit, hari bahkan tahun ke depan. Mudah-mudahan menjawab.

Sementara untuk Rika Pb, thanks ya udah main-main ke blog akyu... Wah, hepi saya dapat teman baru nih... Salam kenal juga...

Nah sekian dulu..., sampai jumpa di postingan berikutnya.

Rabu, 01 Agustus 2007

Informasi & Intuisi

Masih seputar Sang Alkemis....

Keinginan untuk mencari tahu apa takdir kita selama hidup di dunia ini ibarat mimpi yang dialami Santiago. Mimpi itu membuat kita jadi gelisah dan diliputi rasa penasaran ingin segera tahu kisah akhirnya. Tapi seperti Santiago, kita kadang ragu dengan apa yang jadi mimpi kita.

Pertama, kita ragu apakah yang kita impikan itu benar-benar ada atau hanya khayalan semata.
Jika Santiago dalam keterbatasannya memutuskan pergi ke wanita peramal, kita harus tahu kemana dan kepada siapa kita akan pergi bertanya jika kita mengalami keraguan.

Kedua, kita ragu apakah kita mungkin sampai tujuan yang kita impikan itu.
Dalam hal Santiago, pertemuan dengan Melkisedek si Raja Salem lah yang membuatnya menjadi berani menempuh segala resiko yang mungkin terjadi. Kita sendiri juga perlu banyak mendengarkan nasehat dan mencari dukungan semangat dari orang-orang yang jauh lebih senior serta lebih berpengalaman saat kita sedang ragu. Bukan tidak mungkin, salah satu dari mereka akan menjadi Melkisedek kita.

Dari kedua jenis keraguan di atas, sebenarnya mengandung inti pesan yang sama. Kekuatan intuisi dan kekuatan informasi. Biasanya kita ragu melangkah ketika kita merasa belum sepenuhnya memegang kedua kunci tersebut. Intuisi yang terlatih dan informasi yang akurat adalah bekal yang akan menambah kepercayaan diri kita dalam menempuh perjalanan hidup yang panjang.

Di atas kedua kekuatan tersebut, ada kekuatan lain yang lebih besar seperti yang dimiliki oleh Santiago yakni Hasrat dan Nekad. Jadi meskipun intuisinya belum terlatih, informasi yang diperolehnya belum cukup, ia toh nekad melangkah juga dengan bekal hasrat yang menyala-nyala. Memang kenekadannya harus dibayar mahal. Seorang pencuri mempecundangi hartanya, hingga ia terpaksa tinggal di negeri asing beberapa waktu lamanya untuk bekerja dan menabung. Namun kemalangan tak membuatnya jera. Karena sedari awal, semenjak di seminari ia tahu, bahwa ia berbeda dengan orang-orang yang selalu ingin melakukan hal yang sama setiap hari. Ia juga berbeda dari si pedagang kristal yang tak pernah berani mewujudkan impiannya ke tanah suci. Karakter Santiago adalah karakter seorang entrepreneur. Seorang yang terus belajar, mencoba, belajar dan mencoba lagi, mungkin sesekali melakukan kekeliruan, tapi tak takut untuk mencoba lagi. Di sela-sela hasrat dan kenekadannya, masih sempat digambarkan pergumulan batin Santiago, apakah ia akan mundur atau terus maju. Dan Santiago memilih untuk terus maju.

Ini adalah sebuah pelajaran yang sungguh menyemangati kita. Tak jarang kita berlama-lama menangisi kegagalan kita. Kita sulit bangkit kembali ketika dipecundangi, dikhianati, mengalami kemalangan dan kepahitan. Namun Santiago mengajarkan kepada kita, bahwa hidup adalah soal karakter. Setiap kegagalan dan kekecewaan yang singgah tak lebih adalah untuk membuat kita menjadi lebih tabah dan lebih kuat. Kesusahan dan penderitaan melatih kita menjadi lebih proaktif dan kreatif. Dan ini sangat besar gunanya dalam kehidupan kita selanjut.

Satu hal lagi yang bisa dipelajari dari pengalaman Santiago ini, yakni kemampuan untuk mengenali diri serta mengenali apa yang diingini.
Santiago tahu persis, bahwa tempatnya bukan di seminari. Di seminari orang-orang melakukan hal yang sama terus setiap hari, sedangkan ia tertarik pada banyak informasi. Santiago tahu persis bahwa panggilannya bukan menjadi Pastor. Meski motivasinya mulia sekaligus bisa mengangkat martabat keluarga, hatinya tak dapat dimanipulasi. Ia lebih memilih menjadi gembala, karena gembala bebas pergi kemanapun yang disukainya dan bebas melakukan apa yang dimauinya.

Sekarang, bagaimana cara kita bisa mengenali diri dan mengenali apa yang kita ingini seperti Santiago? Banyak alat bantu yang bisa digunakan, terutama dari tes-tes kepribadian maupun masukan dari orang-orang terdekat. Jangan salah sangka, tes-tes tersebut bukan untuk memvonis mati bahwa kita tak mungkin berubah, tetapi justru untuk membantu menunjukkan kecenderungan minat kita, kecenderungan respon kita jika menghadapi suatu masalah, dll.
Untuk lebih jelasnya saya akan bagikan pada tulisan berikutnya.

Pertanyaannya: sesudah mengenali diri lantas apa?

Ini juga akan saya bahas pada postingan saya berikutnya.

Salam